Rabu, 07 Maret 2018

IDENTIFIKASI YANG DILARANG DALAM KEUANGAN SYARI’AH (manajemen keuangan syaria 3)

IDENTIFIKASI YANG DILARANG DALAM
KEUANGAN SYARI’AH


Islam adalah agama yang kompherensif ajarannya. Islam dapat menjadi bidang-bidang kajian aqidah, akhlak dan syariah. Aqidah bermakna aturan yang berhubungan dengan masalah keyakinan atau yang dikenal dengan rukun iman (arkanul iman),  yang terdiri atas 6 rukun yaitu : iman kepada allah, iman kepada malaikat allah, iman kepada kitab allah, iman kepada rasull allah, iman kepada hari kiamat dan iman kepada Qadar dan takdir allah. Akhlah berhubungan dengan pernyataan dan tindakan ihsan dari manusia terhadap allah atau sesama manusia. Dengan rumusan yang menyangkut seolah-olah kita melihat allah, kalau kita tidak melihat allah, sesungguhnya allah melihat kita. Sementara syari’ah, adalah bidang yang berkaitan dengan masalah hukum  atau aturan. Didalamnya terdapat dua hukum  besar, yaitu hukum ibadah dan hukum muamalah. Berikut akan dibahas tentang kaidah-kaidah hukum muamalah yang berkaitan dengan hukum muamalah.



SYARI’AH DAN HUKUM KEUANGAN

           Rasulullah secara tegas mengatakan dalam sabdanya, bahwa (bisnis,berusaha) adalah suatu lahan yang paling banyak mendatangkan keberkahan. Namun harus, dipamahami, bahwa praktik-praktik bisnis (usaha) yang seharusnya dilakukan setiap manusia, menurut ajaran islam (syari’ah) telah ditentukan batas-batasnya. Oleh karena itu, islam memberikan kategori usaha yang diperbolehkan (halal) dan usaha yang dilarang (haram). Didalam syari’ah diatur mengenai ibadah dan muamalah. Hukum asal ibadah  menyatakan; segala sesuatu yang dilarang dikerjakan, kecuali yang ada petunjuk/perintah-nya dalam alqur’an atau sunnah. Sementara hukum muamalah menyatakan ; segala sesuatunya dibolehkan kecuali ada larangan dalam al-qur’an dan sunnah. Penjelasan mengenai syari’ah dalan kehidupan manusia (termasuk dalam bidang ekonomi dijabarkan dalam ilmu fiqh, yang biasa dikenal dengan fiqh muamalah). Hubungan antara syariah dan fiqh adalah fiqh merupakan penafsiran ulama terhadap syari’ah.



PERBANKAN BERBASIS BUNGA ATAU KONVENSIONAL MENGANDUNG BEBERAPA KELEMAHAN, YAITU :

1.              Transaksi berbasis bunga melanggar keadilan atau kewajaran bisnis.
2.              Tidak fleksibelnya system transaksi berbasis bunga menyebabkan kebangkrutan.
3.              Komitmen bank untuk menjaga keamanan uang deposan berikut membuat bank cemas               untuk mngembalikan pokok dan bunganya.
4.          System transaksi berbasi bunga mengalangi munculnya inovasi oleh usaha kecil.
5.         Dalam system bunga, bank tidak akan tertarik dalam kemitraan usaha kecuali bila ada 
         jaminan kepastian pengembalian modal dan pendapatan bunga mereka.

Dengan penjelasan sebagai berikut :

Transaksi berbasis bunga melanggar keadilan atau kewajaran bisnis. Dalam bisnis, hasil dari setiap perusahaan selalu tidak pasti. Peminjam sudah berkewajiban untuk membayar tingkat bunga yang disetujui walaupun perusahaannya mungkin rugi. Meskipun perusahaan untung, bisa jadi perusahaan yang dibayarkan melebihi keuntungannya. Hal ini jelas bertentangan dengan norma keadilan dalam islam.

          Dalam system bunga, bank tidak akan tertarik dalam kemitraan usaha kecil bila ada jaminan kepastian pengembalian modal dan pendapatan bunga mereka. Setiap   rencana bisnis yang diajukan kepada mereka selalu diukur dengan kriteria ini. Jadi, bank yang bekerja dengan system ini tidak mempunyai insentif untuk membantu suatu usaha yang berguna bagi masyarakat dan para pekerja. System ini menyebabkan misallocation sumber daya dalam masyarakat islam.
       
   Berangkat dari beberapa kelemahan system perbankan konvensional tersebut, maka perbankan syari’ah diharapkan mendapatkan kebebasan dalam mengembangkan produknya sendiiri, sesuai dengan teori perbankan syari’ah. Jikak kebebasan ini dapat diajukan maka secara ideal akan memberikan manfaat bagi :
a.              Terpeliharanya aspek keadilan bagi para pihak yang bertransaksi.
b.              Lebih menguntukan dibandingkan perbankan konvensional
c.             Dapat memelihara kestabilan nilai tukar mata uang karena selalu berkaitan dengan                       transaksi riil, bukan sebaliknya.
d.              Transparasi menjadi sifat yang melekat (inheren)
e.              Memperluar aplikasi syariah dalam kehidupan masyarakat muslim.



PRINSIP MUAMALAH DALAM ISLAM
  
  Suatu aktivitas atau transaksi ekonomi atau non-ekonomi dilarang karena penyebabnya. Faktor penyebab suatu transaksi tersebut dilarang yaitu :

1.              Haram zatnya
    Haram zatnya berate zat barang yang ditrasaksikan adalah haram. Transaksi atas barang demikian ini dilarang karena objek (barang/jasa) yang ditransaksikan juga dilarang. Misalnya, minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya.sebagaimana allah menegaskan melalui firman, yaitu:

”sesungguhnya allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain allah. Tetapi barang siapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui  batai, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS. Al-baqarah: 173)
     
     Jadi transaksi jual beli minuman keras adalah haram, walaupun akad jual belinya sah. Dengan demikian jika ada nasabah yang mengajukan pembiayaan pembeliaan minuman keras kepada bank dengan akad mudharabah, maka walaupun akadnya sah tetapi transaksi ini haram karena objek transaksinya haram.


2.              Haram selain zatnya
   Sesuatu dapat menjadi haram, bukan karena zatnya haram. Namun, sesuatu itu dapat dikategorikan menjadi barang haram jika cara mendapatkannya dilarang menurut hukum islam. Cara-cara untuk mendapatkan sesuatu yang diharamkan menurut syari’ah diantaranya adalah karena caranya melanggar prinsip-prinsip muamalah, yaitu:

1.              Melanggar prinsip saling ridho “an taradin minkum”
2.              Melanggar prinsip saling dhalim “Ia tadzlimun wa la tudzlamun”

Transaksi yang termasuk melanggar prinsip an taradiin minkum adalah ; transaksi penipuan (tadlis); ketidak jelasan (gharar); rekayasa pasar( dalam supply/ikhtikar); rekayasa pasar (dalam demand/bai’ najasi), dengan penjelasan sebagai berikut:


Tadlis
    Dalam setiap transaksi dalam islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua bela pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi(ditipu) karena ada sesuatu yang unknown to one party  (keadaan dimana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain, ini disebut juga assymetric information) unknown one party dalam bahasa fiqhnya disebut tadlis, dan dapat terjadi dalam 4 hal, yaitu :

1.              Kuantitas
2.              Kualitas
3.              Harga
4.              Waktu penyerahan


Ikthikar (rekayasa pasar dalam supply)
    Rekayasa supply terjadi bila seorang produsen/penjual mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply agar harga produk Rekayasa supply terjadi bila seorang produsen/penjual mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply agar harga produk yang dijualnya naik. hal seperti ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan masuk). Yakni menghambat produsen/penjual lain masuk kepasar, agar ia menjadi pemain tunggal di pasar(monopoli) dan biasa juga disebut penimbunan.


Bai najasy (rekayasa pasar dalam demand)
    Bai najasy terjadi bila seorang produsen menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga penjualan produk itu akan naik. hal ini terjadi misalnya, dalam bursa saham (praktik goring-menggoreng saham), bursa valas, dll. Cara yang ditempuh bisa bermacam-macam, mulai dari menyebarkan isu, melakukan order pembelian, sampai benar-benar melakukan pembelian pancingan agar tercipta sentiment pasar untuk membeli saham(mata uang) tertentu.


RIBA

Masalah riba akan dibahas lebih rinci melalui ilmu fiqh :

a.              Riba fadl
Riba fadl disebut juga riba buyu’, yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mist/an bi mist/in), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in), dan sama waktu penyerahannya (yadan biyadin). Pertukaran missal ini mengandung gharar, yaitu  ketidak jelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barangyang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan kezaliman terhadap salah satu pihak dan pihak lainnya.


b.              Riba nasi’ah
Riba nasi’ah disebutt juga riba duyun yaitu  riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaaj bi dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalan waktu.


c.               Riba jahiliyah
Riba jahiliyah adalah utang yang dibayar melalui pokok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Riba jahiliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaidah “kullu qardin jarra manfa’atan fahuwa riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Memberi pinjaman adalah transaksi kebaikan (tabarru), sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi bisnis  (tijarah). Jadi, transaksi yang dari semula diniatkan sebagai transaksi kebaikan tidak boleh diubah menjadi transaksi yang bermotif bisnis.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar