BAB 13
PENGEMBALIAN DAN PENGENDALIAN UANG
DARI PERSPEKTIF ISLAM
A.
EVOLUSI
UANG SEBAGAI SEBUAH KONVENSI SOSIAL
Uang yang kita kenal sekarang ini telah
mengalami proses perkembangan yang panjang. Pada mulanya, masyarakat belum
mengenal pertukaran karena setiap orang berusaha memenuhi kebutuhannnya dengan
usaha sendiri. Manusia berburu jika ia lapar, membuat pakaian sendiri dari
bahan-bahan yang sederhana, mencari buah-buahan untuk konsumsi sendiri;
singkatnya, apa yang diperolehnya itulah yang dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhannya.
Perkembangan selanjutnya mengahadapkan manusia pada
kenyataan bahwa apa yang diproduksi sendiri ternyata tidak cukup untuk
memenuhui seluruh kebutuhannya. Untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat
dihasilkan sendiri, mereka mencari orang yang mau menukarkan barang yang
dimiliki dengan barang lain yang dibutuhkan olehnya. Akibatnya muncullah sistem
barter, yaitu barang yang ditukar dengan barang.
Namun pada akhirnya, banyak kesulitan-kesulitan yang
dirasakan dengan sistem ini. Di antaranya adalah kesulitan untuk menemukan
orang yang mempunyai barang yang diinginkan dan juga mau menukarkan barang yang
dimilikinya serta kesulitan untuk memperoleh barang yang dapat dipertukarkan
satu sama lainnya dengan nilai pertukaran yang seimbang atau hampir sama
nilainya. Untuk mengatasinya, mulailah timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan
benda-benda tertentu untuk digunakan sebagai alat tukar. Benda-benda
yang ditetapkan sebagai alat pertukaran itu adalah benda-benda yang diterima
oleh umum (generally accepted), benda-benda yang dipilih bernilai tinggi (sukar
diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau benda-benda yang
merupakan kebutuhan primer sehari-hari; misalnya garam yang oleh orang Romawi
digunakan sebagai alat tukar maupun sebagai alat pembayaran upah.
Pengaruh orang Romawi tersebut masih terlihat sampai sekarang; orang Inggris
menyebut upah sebagai salary yang berasal dari bahasa Latin salarium yang
berarti garam.
Meskipun alat tukar sudah ada, kesulitan dalam
pertukaran tetap ada. Kesulitan-kesulitan itu antara lain karena benda-benda
yang dijadikan alat tukar belum mempunyai pecahan sehingga penentuan nilai
uang, penyimpanan (storage), dan pengangkutan (transportation) menjadi sulit
dilakukan serta timbul pula kesulitan akibat kurangnya daya tahan benda-benda
tersebut sehingga mudah hancur atau tidak tahan lama.
Problema Barter menurut Al-Ghazali:
1.
Kurang memiliki angka penyebut yang sama (lack of common denominator)
2.
Barang tidak dapat dibagi-bagi (indivisibility of goods)
3.
Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants)
Sebelum adanya uang yang dipakai
ditengah masyarakat sekarang ini sampai adanya benda-benda yang disepekati
sebagai uang untuk ditukarkan dalam proses transaksi jual beli. Uang memiliki sejarah
dan evolusi (perubahan), baik bahan (materinya) maupun bentuknya sesuai dengan
perkembangan zaman. Sejarah dan evolusi uang dibagi menjadi 3 periode, yaitu
sebagai berikut:
1.
Periode Sebelum Barter
Pada awal
peradaban, manusia memenuhi kebutuhannya secara mandiri, mereka memperoleh
makanan dari berburu dan memakan berbagai buah-buahan. Karena jenis
kebutuhannya masih sederhana, mereka belum membutuhkan orang lain.
Masing-masing individu memiliki kebutuhan makanannya secara mandiri. Dalam
periode yang dikenal sebagai periode prabarter ini, manusia belum mengenal
transaksi perdagangan atau dikenal dengan jual-beli.
2.
Periode Barter
Ketika
jumlah manusia semakin bertambah dan peradabanya semakin maju, kegiatan dan
interaksi antar sesama manusiapun meningkat. Jumlah dan jenis kebutuhan manusia
juga semakin beragam. Ketika itulah, masing-masing individu mulai tidak mampu
memenuhi kebutuhannya sendiri. Bisa dipahami karena ketika seseorang
menghabiskan waktunya seharian untuk bercocok tanam, pada saat bersamaan tentu
ia tidak bisa memperoleh ikan, menenun pakaian sendiri atau kebutuhan lainnya. Satu
sama lain mulai membutuhkan, karena tiddak ada individu yang secara sempurna
mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Sejak saat itulah, manusia mulai menggunakan
berbagai cara dan alat untuk melangsungkan pertukaran barang dalam rangka
memenuhi kebutuhan mereka. Pada tahapan peradaban manusia yang masih sangat
sederhana mereka dapat menyelenggarakan tukar-menukar kebutuhan dengan cara
barter (pertukaran barang dengan barang).
3.
Periode
Setelah Barter
Untuk mengatasinya, mulai timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan benda
benda yang digunakan sebagai alat tukar (commodity money). Benda-benda yang
ditetapkan sebagai alat pertukaran itu adalah benda-benda yang diterima oleh
umum (generally accepted), benda-benda yang dipilih bernilai tingggi (sukar
diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau benda-benda yang
merupakan kebutuhan primer sehari-hari. Benda-benda yang pernah dijadikan
sebagai uang adalah keramik, kulit binatang langka, kulit kerang, tembakau, manik-manik, garam,
bahkan dibeberapa komunitas tertentu gigi ikan pari atau taring binatang buas
lebih disukai sebagai uang karena dianggap mengandung nilai-nilai magis.
B.
PROSES MASUKNYA
UANG KE NEGARA
Ø
Evolusi Uang Dari
Logam Ke Kertas
Pada abad pertengahan, kulit kerang lazim digunakan sebagai uang hampir
diseluruh bagian di empat benua yaitu Eropa, Asia, Amerika dan Afrika Barat.
Bahkan di Persia dan di Italia Kuno pernah dikenal binatang ternak sebagai
uang. Namun sejalan dengan bertambah majunya
kehidupan perekonomian, maka selanjutnya benda yang dipergunakan sebagai uang
beralih dari benda-benda yang disebutkan tadi ke logam yang dianggap lebih baik
dan lebih praktis dibandingkan
dengan benda-benda lainnya, terutama juga karena daya tahan/kekuatannya yang lebih baik karena tidak mudah rusak serta memungkinkan untuk
dibuat dalam bermacam-macam bentuk, ukuran serta berat sesuai dengan kebutuhan.
Adapun logam yang digunakan sebagai uang ialah besi, perunggu, seng, tembaga, perak, dan emas atau campuran dari berbagai macam logam tersebut.
Adapun logam yang digunakan sebagai uang ialah besi, perunggu, seng, tembaga, perak, dan emas atau campuran dari berbagai macam logam tersebut.
Negara-negara yang pertama-tama menggunakan logam sebagai uang ialah Mesir
Kuno, Babylonia, Assyiria, Cina, dan Yunani. Mengenai bentuknya, awal uang
logam berbentuk bongkahan, batangan, lempengan, cincin dan kemudian terakhir
berbentuk koin sebagai mana kita kenal dewasa ini. Bahkan dibeberapa negara
antara lain Jepang, diakhir abad 20 masih
dijumpai koin-koin dengan nilai tertentu yang bentuknya berlubang hampir
seperti cincin.
Saat ini uang kertas tidak lagi mewakili sejumlah logam mulia seperti
semula. Dengan demikian uang kertas saat ini merupakan uang kredit (kredit
money) atau uang kepercayaan (fiduciare money) atau fiat money yang hanya mempunyai jaminan ala
kadarnya bahkan mungkin tidak ada sama sekali bahkan dalam arti hanya memiliki
nilai nominal yaitu nilai yang tertera pada uang tersebut. Masyarakat memegang
dan menggunakan uang hanya berdasarkan kepercayaan semata-mata kepada
pemerintah/lembaga yang menerbitkan uang tersebut.
Sedangkan uang logam yang beredar dewasa ini terdiri dari uang tanda (token
money) yaitu uang yang nilai nominalnya lebih besar dari nilai
instrinsiknya/materinya yaitu logamnya. Disamping itu, terdapat juga uang penuh
(full bodied money) yaitu uang logam yang nilai nominalnya sama dengan nilai
intrinsiknya/materinya/logamnya. Full bodied money dan token money merupakan
commodity money yang berfungsi sebagai uang
juga dapat diperdagangkan materinya yaitu logamnya.
Selanjutnya di samping kedua jenis uang tersebut, dewasa ini yaitu juga
besar perannya dalam perekonomian terutama di negara-negara sistem perbankannya
telah maju, terdapat pula jenis uang lain yaitu uang giral. Uang giral adalah
uang yang berada pada rekening-rekening giro (sering juga disebut rekening
koran atau current account, atau demand deposit account) pada bank-bank umum
(commersial bank). Demikianlah sistem uang
(money system) yaitu instrumen-instrumen/alat-alat pembayaran yang digunakan
oleh suatu negara untuk mengatur penawaran uang, mengalami evolusi ke arah
perkembangan bentuk uang yang ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
antara lain:
(1) Lebih enak dan nyaman digunakan sebagai alat tukar
(2) Tidak mudah rusak
(3) Tidak mudah dipalsukan
(4) Mudah disesuaikan (fleksibel) terhadap kebutuhan perekonomian yang
terus berkembang
(5) Dapat dengan mudah dipengaruhi oleh Bank Sentral seandainya diperlukan
dalam rangka stabilitas ekonomi, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
C.
BANK SENTRAL DAN STABILITAS EKONOMI
Bank
Sentral tidak terlepas dari sejarah dikenalnya sistem uang sebagai alat tukar
dalam perdagangan dan perekonomian secara umum, dan mulai ditemukannya metode
perbankan untuk pertama kalinya dalam perekonomian dan perdagangan suatu
negara. Di mana pada zaman dahulu alat
tukar yang digunakan adalah memang berupa uang yang memang memiliki nilai intrinsik yang sama terhadap material
yang terbuat dari uang tersebut. Biasanya berupa uang
logam (emas, perak, perunggu, dll) yang memiliki nilai intrinsik
yang sama terhadap nilai dari uang logam tersebut. Artinya jika uang logam emas
seberat 1 gram
bernilai 1000 misalnya, pada saat itu memang karena emas dengan kondisi 1 gr
tersebut ketika diperdagangkan/dipertukarkan di mana-mana nilainya adalah 1000.
Alat tukar dengan uang logam seperti ini sudah lebih maju dibandingkan dengan
kondisi sebelumnya di mana perdagangan dilakukan dengan alat tukar yang belum
bisa diterima oleh banyak kalangan atau bahkan sistem barter langsung terhadap barang yang
diperdagangkan di mana ini menjadi cikal-bakal dimulainya perdagangan dalam
sejarah peradaban manusia.
Seiring
dengan waktu dan terus berkembangnya perdagangan dan perekonomian, alat tukar
berupa uang logam tersebut mulai menjadi keterbatasan karena memang
ketersediaan sumber daya alam yang terbatas untuk mencetak jenis uang seperti
itu, dan ini menghambat potensi untuk berkembang lebih besarnya lagi
perekonomian suatu negara sementara jenis-jenis produk baru dan bentuk industri
baru sangat potensial untuk muncul namun amat disayangkan jika aktivitas
perdagangan dan perekonomian secara umum harus terhambat karena mengikuti
kemampuan ketersediaan uang berupa logam yang sangat terbatas tersebut.
Untuk
itulah kemudian dikenal sistem uang
kertas yang pertama kali ditemukan
melalui sistem penjaminan yang dalam hal ini dilakukan oleh suatu badan
penjamin sekaligus penyimpan yang disebut bank, di mana uang kertas yang
dikeluarkan oleh bank tersebut dijamin memiliki nilai yang sama atau dijanjikan
akan memiliki nilai beberapa kali lebih besar terhadap emas atau uang
logam yang di simpan oleh nasabah/masyarakat pada waktu mendatang atau pada
masa yang ditentukan. Pada praktik dan perkembangannya masing-masing, bank-bank
yang pada saat itu membuat aturannya sendiri-sendiri dan jenis-jenis
jaminan/uang kertasnya masing-masing yang sangat potensial merugikan masyarakat karena belum dikelola negara untuk memastikan tidak adanya
penyimpangan atau aturan yang tidak adil. Di mana pada suatu ketika seorang nasabah
berniat untuk mengambil kembali emas atau uang
logam yang disimpan pada bank
tersebut dengan cara menukar kembali uang kertas yang dia dapat dari bank
tersebut ternyata harus kecewa karena uang logam yang dia terima lebih sedikit
dari yang dijanjikan atau bahkan lebih kecil dari jumlah yang sama dari yang
pernah ia simpan ke bank tersebut. Pada masa itulah mulai terjadi untuk pertama
kalinya dalam sejarah model-model fraud dan rekayasa dalam sektor industri yang baru ini, yaitu sektor
keuangan.
Sejak
itulah negara menyadari perlunya suatu bank sentral yang selanjutnya didirikan
dengan tujuan untuk memastikan adanya satu jenis mata uang kertas yang sama dan
berlaku di suatu negara tersebut agar memiliki nilai yang stabil dan dapat
dipercaya karena dijamin oleh negara (dengan cara awalnya negara menjamin uang
kertas tersebut dengan sejumlah emas deposit atau logam berharga lainnya yang
dicadangkan setiap mencetak nominal uang tersebut, namun belakangan tidak lagi
dan jaminannya hanya atas nama negara saja atau sejumlah kecil emas) dan dapat
dipergunakan terus menerus oleh masyarakat dalam menjalankan aktivitas
perekenomiannya di negara tersebut. Dan dengan kewenangannya bank sentral mengatur
jumlah uang yang beredar tersebut agar dapat menggerakkan roda perekonomian dengan keseimbangan yang tepat
antara peredaran jumlah uang dan barang, dan dapat terus saling
mengembangkan, dengan cara tidak sampai menyebabkan kelebihan jumlah likuiditas/uang yang beredar dalam
perekonomian negara tersebut yang dapat menyebabkan inflasi (naiknya
harga-harga atau turunnya nilai uang), dan juga sebaliknya jangan sampai
terjadi kekurangan likuiditas yang dapat menyebabkan perekonomian sulit
bergerak apalagi untuk berkembang.
Adapun peran dan fungsi bank sentral (bank Indonesia) yaitu:
1.
Memperlancar
lalu lintas pembayaran.
·
menciptakan
uang kartal,
·
menyelenggarakan
kliring antar bank umum.
2.
Sebagai
bankir, agen dan penasehat pemerintah.
·
Bank Sentral sebagai bankir :
o
memelihara
rekening pemerintah
o
memberikan
pinjaman sementara
o
memberikan
pinjaman khusus
o
melaksanakan
transaksi yang menyangkut jual beli valuta asing (valas)
o
menerima
pembayaran pajak
o
membantu
pembayaran pemerintah dari pusat ke daerah
o
membantu
pengedaran surat berharga pemerintah
o
mengumpulkan
dan menganalisis data ekonomi
·
Bank sentral sebagai agen dan penasehat pemerintah :
o
mengadministrasi
dan mengelola hutang nasional
o
memberikan
jasa pembayaran bunga atas hutang
o
memberikan
saran dan informasi mengenai keadaan pasar uang dan modal.
3.
Memelihara
cadangan/cash reserve bank umum.
4.
Memelihara
cadangan devisa Negara.
·
internal reserve, untuk keperluan jumlah uang beredar
·
eksternal reserve, untuk alat pernbayaran internasional
5.
Sebagai
bankers bank dan lender of last resort,Bank Sentral memiliki peran khusus dalam
sistem moneter yaitu sebagai sumber peminjaman bagi bank-bank dan menjadi
sumber terakhir bagi bank-bank tersebut dalam mendapatkan pinjaman ketika bank
yang bersangkutan mengalami kesulitan likuiditas (lender of the last resort).
6.
Mengawasi
kredit.
7.
Mengawasi
bank (bank supervision)
·
Prudential Supervision: pengawasan bank yang diarahkan agar individual bank dapat
dijaga kelangsungan hidupnya sehingga kepentingan masyarakat dapat dilindungi.
·
Monetary Supervision: menjaga nilai mata uang negara yang bersangkutan sehingga
bank tersebut dapat menjadi penyangga kebijakan moneter maupun kebijakan
ekonomi pemerintah lainnya.
8.
Melakukan
Riset-Riset Ekonomi (Economic Research).
·
Bank
Sentral berperan sebagai lembaga untuk melakukan Riset-riset ekonomi yang
berkaitan dengan masalah dan perkembangan sektor moneter. Hal ini berkaitan
dengan tujuan Bank Sentral, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral melakukan kebijakan moneter
secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan
kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Ø Stabilitas
ekonomi
Stabilitas perekonomian adalah prasyarat dasar untuk
tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pertumbuhan yang tinggi
dan peningkatan kualitas pertumbuhan. Stabilitas perekonomian sangat penting
untuk memberikan kepastian berusaha bagi para pelaku ekonomi. Stabilitas
ekonomi makro dicapai ketika hubungan variabel ekonomi makro yang utama berada
dalam keseimbangan, misalnya antara permintaan domestik dengan keluaran
nasional, neraca pembayaran, penerimaan dan pengeluaran fiskal, serta tabungan
dan investasi. Hubungan tersebut tidak selalu harus dalam keseimbangan yang
sangat tepat. Ketidakseimbangan fiskal dan neraca pembayaran misalnya tetap
sejalan dengan stabilitas ekonomi asalkan dapat dibiayai secara
berkesinambungan.
Perekonomian yang tidak stabil menimbulkan biaya yang tinggi
bagi perekonomian dan masyarakat. Ketidakstabilan akan menyulitkan masyarakat,
baik swasta maupun rumah tangga, untuk menyusun rencana ke depan, khususnya
dalam jangka lebih panjang yang dibutuhkan bagi investasi. Tingkat investasi
yang rendah akan menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi panjang. Adanya
fluktuasi yang tinggi dalam pertumbuhan keluaran produksi akan mengurangi
tingkat keahlian tenaga kerja yang lama menganggur. Inflasi yang tinggi dan
fluktuasi yang tinggi menimbulkan biaya yang sangat besar kepada masyarakat.
Beban terberat akibat inflasi yang tinggi akan dirasakan oleh penduduk miskin
yang mengalami penurunan daya beli. Inflasi yang berfluktuasi tinggi
menyulitkan pembedaan pergerakan harga yang disebabkan oleh perubahan
permintaan atau penawaran barang dan jasa dari kenaikan umum harga-harga yang
disebabkan oleh permintaan yang berlebih. Akibatnya terjadi alokasi inefisiensi
sumber daya.
Mengingat pentingnya stabilitas ekonomi makro bagi kelancaran
dan pencapaian sasaran pembangunan nasional, Pemerintah bertekad untuk terus
menciptakan dan memantapkan stabilitas ekonomi makro. Salah satu arah kerangka
ekonomi makro dalam jangka menengah adalah untuk menjaga stabilitas ekonomi
makro dan mencegah timbulnya fluktuasi yang berlebihan di dalam perekonomian.
D.
STANDAR EMAS (THE GOLD STANDARD)
Standar
emas
merupakan istilah yang merujuk pada sistem moneter yang
alih-alih menggunakan mata uang, menggunakan emas murni
sebagai alat pembayaran yang sah, emas sebagai satuan dasar nilai uang, serta
dasar perbandingan nilai berbagai mata uang. Standar emas pernah dberlakukan di
negara Inggris pada
tahun 1821, pernah pula dipakai oleh Amerika Serikat pada
tahun 1870-an hingga tahun 1971.
Sistem
standar emas internasional muncul mulai tahun 1870 di Inggris. Pemerintah
Inggris menetapkan nilai pounsterling dengan emas. Perkembangan industri yang terjadi
di Inggris serta perdagangan dunia yang makin berkembang pada abad 19 menambah
kepercayaan dunia terhadap emas. Kepercayaan ini diperkuat dengan ditemukannya
tambang emas di Amerika dan Afrika Utara. Dengan kejadian-kejadian tersebut
sistem standar emas merupakan suatu sistem yang dipakai oleh banyak negara
semenjak 1970 hingga perang dunia pertama.
Perdagangan
yang semakin meningkat membuat kebutuhan sistem pertukaran yang lebih formal
menjadi semakin terasa. Standar emas pada dasarnya menetapkan nilai tukar mata
uang negara berdasarkan emas. Pemerintah atau Negara yang bersangkutan harus
menjaga persediaan emas yang cukup untuk menjamin jual-beli emas. Jika
pemerintah negara lain juga menetapkan nilai mata uangnya berdasarkan, maka
kurs antar dua mata uang bisa ditentukan. Nilai emas terhadap barang lain tidak
banyak berubah dalam jangka panjang, stabilitas nilai uang dan kurs mata uang
tidak banyak berfluktuasi dalam jangka panjang.
Standar emas
berbeda dengan mata uang fiat (fiat money). Dalam mata uang fiat, nilai mata
uang ditentukan berdasarkan kepercayaan terhadap kemauan pemerintah menjaga
integritas menjag mata uang tersebut. Seringkali kepercayaan tersebut
disalahgunakan. Pemerintah kadang tergoda menerbitan uang baru, karena biaya
produksi penerbitan tersebut adalah 0 rupiah. Dengan menggunakan standar emas,
nilai mata uang didasarkan pada emas. Pemerintah tidak bisa seenaknya menambah
jumlah uang yang beredar , karena suplai uang dibatasi oleh suplai emas.
Dengan
proses tersebut kurs mata uang bisa terjaga selama negara-negara di dunia
memakai emas sebagai standar mata uangnya. Inflasi yang berkepanjangan tidak
akan terjadi di dalam situasi semacam itu.
Dengan
adanya Perang Dunia I (1919-1923) serta depresi dunia (1931-1934) negara-negara
di Eropa dilanda inflasi serta ketidaksetabilan politik. Sistem moneter
Internasional menjadi kacau. Kekacauan ini menimbulkan kurang kepercayaan dunia
terhadap poundsterling yang masih dikaitkan dengan emas. Poundsterling makin
lama makin lemah posisinya. Kelemahan ini ditambah keharusan Inggris untuk
memberi bantuan kepada Jerman. Pada tahun 1931 Inggris menanggalkan standar
emas dan poundsterling jatuh nilainya, diikuti oleh dolar Amerika.
1.
Periode Perang Dunia (1914-1994)
Perang dunia I mengakhiri standar emas klasik. Periode
antara kedua perang dunia secara umum ditandai oleh kekacauan perdagangan dan
keuangan internasional. Terjadinya fluktuasi kurs sejak akhir perang sampai
tahun 1925 (kecuali di Amerika Serikat, yang kembali ke standar emas dalam tahun
1919). Mulai tahun 1925, suatu usaha dilakukan untuk menetapkan kembali standar
emas, akan tetapi runtuh tahun 1991 pada waktu Depresi Besar. Kemudian disusul
dengan periode persaingan Devaluasi, ketika negara-negara mencoba untuk
mengekspor pengangguran mereka (kebijakan mengemis tetangga mereka). Tarif,
kuota dan pengawasan nilai tukar juga meluas, dengan akibat volume perdagangan
dunia berkurang hampir setengahnya. Kecenderungan devlasioner dapat diatasi
sepenuhnya suaktu negara-negara dipersenjatai kembali untuk perang dunia II.
2.
Periode Kurs Tetap
Periode ini dimulai dengan perjanjian Bretton Woods. Melalui perjanjian ini, semua negara menetapkan nilai
tukar mata uangnya melaui emas, tetapi tidak diharuskan memenuhi konverbilitas
mata uang mereka dalam emas. Negara anggota diminta menjaga kursnya dalam batas
1% (naik atau turun) dan bersedia menjaga kurs tersebut. IMF membantu negara
anggotanya dalam rangka menjaga kurs mata uangnya.
Tekanan spekulasi menyebabkan sistem kurs tetap tidak
layak lagi dipertahankan. Pasar keuangan dunia sempat tutup selama beberpa
minggu dalam bulan Maret 1973. Ketika pasar tersebut dibuka, kurs mata uang
dibiarkan mengambang sampai ke kurs yang ditentukan oleh kekuatan pasar.
3.
Post Bretton Woods
Pada tanggal 22 Juli 1944 diadakan suatu konferensi
moneter Internasional, yang dikenal dengan The Bretton Woods Conference, yang
dihadiri oleh 44 negara. Konferensi tersebut bertujuan untuk menyusun rencana
pembuatan sistem moneter. Dua tahun setelah konferensi tersebut, didirikan IMF
dan Bank Dunia untuk mengawasi sistem tersebut. .
Selama periode 1944-1973 dolar merupakan mata uang
yang sangat penting dalam lalu lintas pembayaran Internasional. Peranan dolar
ini timbul setelah perang dunia II, dusebabkan saat itu terjadi kekurangan
dolar. Negara-negara Eropa yang sangat memerlukan uang /dana untuk memulihkan
keadaan ekonominya. Satu-satunya sumber adalah Amerika Serikat, sehingga dolar
banyak diminta. Konsekuensinya, emas menjadi tergeser oleh dolar. Sebab,
disamping memiliki tenaga beli yang kuat di Amerika, reserves dalam bentuk
dolar akan membelikan penghasilan bunga. Dengan semakin pentingnya fungsi
dolar, maka setiap anggota menetapkan perbandingan mata uangnya terhadap dolar,
yang kemudian apabila perlu dapat ditukarkan dengan emas.
DMI beranggotakan 134 negara, diantaranya 10 negara
maju mempunyai posisi yang sangat kuat di dalam mengambil keputusan. Setiap
anggota memperoleh jatah/quota, yang harus dibayar 25% dengan emas dan sisanya
75% dengan mata uangnya. Besarnya quota menentukan hak suaranya serta jumlah
pinjaman yang dapat diperoleh dari DMI. Dana pertama DMI dengan sendirinya 25%
terdiri dari emas dan 75% berbagai mata uang negara anggota. Pinjaman diberikan
kepada dalam mata uang negara lain yang harus di tukar dengan mata uang
negara peminjam.
4.
Sistem semenjak 1973
Semenjak 1973 sistem moneter internasional
merupakan campuran antara kurs tetap dengan kurs berubah-ubah. Mata uang Yen,
dolar Kanada, franc Perancis, dan Swiss berfluktuas tergantung dari permintaan
dan pernawaran. Sering juga penguasa moneter negara-negara tersebut melakukan
campur tangan di pasar valuta asing untuk mengurangi fluktuasi kurs yang
berlebihan. Caranya apabila negara mengalami defisit dalam neraca pembayaran,
kurs valuta asing cenderung naik. Untuk mencegah hal ini bank Central menjual
valuta asing. Demikian juga apabila surplus di dalam neraca pembayaran, bank
sentral membeli valuta asing di pasar untuk mengurangi penurunan kurs. Sisitem
kurs demikian di sebut “managed atau dirty” float, sebagai lawan dari “clean”
floatt di mana bank Sentral sama sekali tidak campur tangan di dalam
pasar valuta asing.
Lima negara Eropa (Jerman Barat, Belgia, Luxembrug, Swedia, Netherlan dan Norwegia) mengadakan pengaturan secara tersendiri. Krus tetap berlaku di antara mereka, tetapi berubah-ubah secara bersama-sama terhadap mata uang negara lain. Sisten krus semacam ini (mengambang bersama-sama) menghasilakan fluktuasi yang menyerupai ular, yang kemudian disebut “Snake like”.
Lima negara Eropa (Jerman Barat, Belgia, Luxembrug, Swedia, Netherlan dan Norwegia) mengadakan pengaturan secara tersendiri. Krus tetap berlaku di antara mereka, tetapi berubah-ubah secara bersama-sama terhadap mata uang negara lain. Sisten krus semacam ini (mengambang bersama-sama) menghasilakan fluktuasi yang menyerupai ular, yang kemudian disebut “Snake like”.
Negara-negara Eropa dan Jepang telah melepaskan ikatan
mata uangnya dengan dolar Amerika Serikat. Dengan demikian, telah
merupakan mata uang yang mengambang. Namun demikian Dolar masih memegang
peranan penting dalam lalu lintas pembayaran internasiolal. Pembayaran luar
negeri, kebijakan campur tangan dalam valuta asing oleh Bank Sentral, serta
catatan-catatan statistik Dana Moneter Internasional dan Perserikatan
Bangsa-Bangsa masih menggunakan dasar mata uang Dolar.
Empat macam
bentuk standar emas yang pernah digunakan:
1. Gold Coin Standard Nilai satu-satuan uang dikaitkan
dg seberat tertentu emas, contoh USA $1 =23,22 gram emas murni.
2. Gold Bullion Standard Memiliki Persamaan dengan The
Gold coin Standard.
3. The Managed Sold Bullion Standar Yakni adanya
sejumlah emas yang tetap pada setiap satu satuan uang tetapi tidak dapat
dipakai dalam peredaran umum (satuan uang yang di back-up dengan emas).
4. The Gold Exchange Standard Yakni dimana satu satuan
uangnya dinyatakan sama dengan seberat emas yg tetap.
Keuntungan
sistem standar emas:
1.
Stabilnya kurs valas “dimana kurs yg tingkat
ketinggianya tidak berubah dan jika ada pergerakan akan selalu diikuti oleh
ekspor / impor emas.
2.
Defisit atau surplus neraca pembayaran berkecendrungan
tidak berlangsung “sebab dalam kondisi surplus maupun difisit akan cenderung
menimbulkan kekuatan-kekuatan dalam perekonomian yg secara otomatis
mengakibatkan surplus maupun devisit neraca pembayaran yang terjadi yg pada
akhirnya akan kembali seimbang“.
Kelemahan
sistem standar emas:
a. Stabilits dalam kurs biasanya diikuti oleh ketidakstabilan
dalam tingkat harga. Dengan stabilnya kurs valas, disekuilibrium neraca
pembayaran mengakibatkan aliran emas masuk/keluar berimbas pada naik turunnya
uang beredar yang akan langsung menimbulkan gejolak tingkat harga, kesimpulannya
jika ada emas masuk, harga kegiatan ekonomi ikut naik atau sebaliknya.
b. Mekanisme penyeimbang kembali neraca pembayaran
dalam hal praktik sering tidak selancar seperti yg diungkapkan dalam teori karna
pemerintah yang bersangkutan tidak mematuhi aturan sistem standar emas, justru
cenderung menghalangi dan terkesan melawan aturan, seperti menghalangi turunnya
jumlah uang beredar dengan berbagai kebijakan moneter, seperti mempermudah/meringankan
syarat perkreditan rasio cadangan wajib dibank.
E.
PENCIPTAAN UANG
Uang diciptakan di dalam sistem
moneter oleh bank-bank pencipta uang giral (BPUG) yaitu bank yang diperbolehkan
mengeluarkan cek dan melakukan transaksi kliring (BPR tidak diizinkan mengeluarkan uang giral). Proses penciptaan uang
(giral) tersebut bermula ketika deposan menyetorkan dananya di bank. Melalui
transaksi ini, bank yang menerima simpanan nasabah dapat menyalurkan simpanan
tersebut dalam bentuk kredit kepada debitur.
Pemberian pinjaman inilah yang
mempengaruhi jumlah uang yang beredar sehingga jumlah uang beredar akan semakin
bertambah dibandingkan dengan tambahan deposito itu sendiri. Ilustrasi :
1.
Seorang nasabah A menyetorkan dananya
ke bank A sebesar Rp. 100 milyar
2.
Bank setelah
memperhitungkan dana cadangan (diasumsikan 10% dari dana nasabah)
kemudian menyalurkan dana tersebut dalam bentuk kredit ke nasabah B sebesar Rp. 90
milyar.
3.
Nasabah B
kemudian (diasumsikan) menyimpan dananya di Bank B sebesar Rp. 90
milyar.
4.
Bank B
setelah memperhitungkan dana cadangan (10%) kemudian menyalurkan lagi dana
tersebut dalam bentuk kredit ke nasabah C sebesar Rp. 81 milyar. Dst.....
Besarnya simpanan dana nasabah yang
dapat disalurkan dalam bentuk kredit sangat dipengaruhi oleh besarnya Giro
Wajib Minimum / GWM (dikenal juga dengan Reserve Rquirement Ratio / RRR)
yang harus disetorkan oleh bank ke Bank Sentral yang dihitung berdasarkan
prosentase tertentu dari simpanan nasabah yang mengendap di bank.
Dalam sistem moneter yang jumlah
banknya tak terhingga, proses ini akan berlanjut tanpa henti dan
menimbulkan multiplier effect. Efek dari akselerasi ini dapat
diilustrasikan sebagai berikut :
Bank
Penambahan Deposito
Bank
I
Rp. 100 milyar
Bank
II
Rp. 90 milyar = Rp. 100 m (1-GWM)1
Bank
III
Rp. 81 milyar = Rp. 100 m (1-GWM)2
Bank
IV
Rp. 73 milyar = Rp. 100 m (1-GWM)3
Bank
V
Rp. 66 milyar = Rp. 100 m (1-GWM)4
Bank
VI
Rp. 59 milyar = Rp. 100 m (1-GWM)5
Dst.
....
-
Total
Akumulasi
Rp.1.000 milyar
Berdasarkan rumus sederhan
penjumlahan deret ukur sampai suku ke n yang tak terhingga banyaknya : Sn
= A/R, dimana :
A
= setoran awal
Sn
= jumlah akumulasi
tambahan deposito,
r
= RRR
atau GWM
Dengan demikian, perubahan RRR dam
perubahan jumlah uang beredar dapat dikatakan diuraikan sebagai berikut :
RRR
Penambahan Jumlah Uang Beredar
5%
20 kali lipat
10%
10 kali lipat
20%
5 kali lipat
25%
4 kali lipat
50%
2 kali lipat
Dalam kenyataan, proses penciptaaan
uang tersebut hanya akan terjadi jika asumsi-asumsi yang dikemukakan berlaku.
Dalam kenyataannya, proses penciptaan uang tidak akan seluas yang digambarkan
di atas, karena adanya faktor-faktor yang membatasi, yaitu :
1.
Kebocoran uang tunai, yaitu sebagian dari uang yang
seharusnya disimpan ke bank umum yang berikut tetap dipegang oleh pemiliknya.
Hal ini merupakan kelaziman dalam masyarakat.
2.
Bank ingin mempunyai cadangan yan glebih
banyak. Keinginan
bank untuk membuat cadangan di atas nilai yang ditetapkan oleh otoritas akan
mempengaruhi proses penciptaaan uang giral sebagaimana disebutkan di atas.
3.
Kekurangan Peminjam. Apabila karena sesuatu hal
penyaluran kredit perbankan tidak bisa diserap al. Karena alasan suku bunga
tinggi, prospek ekonomi yang kurang mendukung maka hal tersebut dapat
mempengaruhi asumsi jumlah uang beredar.
F.
KEBIJAKAN MONETER PADA JUMLAH UANG YANG
BEREDAR
Hal ini adalah
salah satu cara untuk mengatasi inflasi, tentu digunakan
kebijakan moneter yang bersifat mengurangi jumlah uang yang beredar yang
meliputi :
1.
Kebijakan
Pasar Terbuka
Kebijakan Bank Sentral untuk
mengurangi jumlah uang beredar dengan cara menjual SBI (Surat Bank Indonesia
).Dengan menjual SBI, Bank Sentral akan menerima uang dari masyarakat dengan
artinyan jumlah uang yang beredar dapat dikurangi.
2.
Kebijakan
Diskonto
Kebijakan Bank Sentral untuk
mengurangi jumlah ng yang beredar dengan cara menaikan suku bunganya. Dengan
menaikkan suku bunga, diharapkan masyarakat akan menabung dibank lebih banyak.
Dengan demikian, jumlah uang yang beredar dapat dikurangi.
3.
Kebijakan
Cadangan Kas
Kebijakan Bank Sentral untuk
mengurangi jumlah uang beredar dengan cara menaikkan cadangan kas minimum.
Sehingga bank umum harus menahan uang lebih banyka dibak sebagai cadangan,
dengan demikian jumlah uang yang beredar dapat dikurangi.
4.
Kebijakan
Kredit Selektif
Kebijakan Bank Sentral untuk
mengurangi jumlah uang beredar dengan cara memperketat syarat-syarat pemberian
kredit. Syarat pemberian yang ketat akan mengurangi jumlah pengusaha yang bisa
memperoleh kredit, dengan demikian jumlah uang yang beredar dapat dikurangi.
5.
Sanering
Kebijakan Bank Sentral memotong
nilai mata uang dalam negeri jika negara sudah mengalami hiperinflasi ( inflasi
diatas 100% ), dengan memotong nilai mata uang maka nilai uang yang beredar
dapat dikurangi.
6.
Menarik Atau
Memusnahkan Uang Lama
Kebijakan Bank Sentral mengurangi
jumlah uang yang beredar dengan cara menarik atau memusnahkan uang yang lama
seperti uang logam pecahan Rp 5,00 Rp 10,00 dan Rp 25,00 serta uang kertas Rp
100,00.
7.
Membatasi
Pencetakan Uang Baru
Untuk mengatasi inflasi, pemerintah harus membatasi pencetakan uang baru agar
jumlah uang yang beredar tidak semakin bertambah.
G.
PROSES PENCIPTAAN UANG
OLEH BANK UMUM
Salah satu
fungsi sistem keuangan adalah penciptaan uang. Penciptaan uang antara lain
dapat dilakukan melalui bank umum yaitu dengan melalui penciptaan uang giral.
Oleh karena itu, bank umum dapat mempengaruhi jumlah uang beredar. Untuk menggambarkan
proses penciptaan uang oleh bank-bank umum dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa asumsi sebagai berikut:
1.
Ketentuan reserve
requirement (RR) 5 %.
2.
Semua loanable funds
yaitu dana setelah dikurangi RR, disalurkan dalam bentuk kredit.
3.
Setiap transaksi
menggunakan cek.
4.
Semua transaksi dalam
bentuk giro.
5.
Simpanan giro pertama
sebesar Rp. 1 juta dan disimpan pada Bank Umum A.
Proses transaksi untuk penciptaan uang oleh bank umum
perekonomian dengan menggunakan asumsi di atas dimulai dengan simpanan nasabah
dalam bentuk Giro pada Bank A sebesar Rp. 1 juta. Untuk memenuhi ketentuan Bank
Umum A menahan sebesar Rp. 50 ribu (5 % x Rp. 1 juta) sebagai cadangan. Sisanya
sebesar Rp. 950 ribu yang dalam hal ini adalah loanable funds dipinjamkan
kepada nasabahnya.
Selanjutnya, nasabah yang mendapatkan kredit tersebut
digunakan untuk membeli kebutuhan-kebutuhanya. Pihak penjual dengan adanya
transaksi tersebut memperoleh uang yang kemudian menyetorkannya pada rekening
gironya di Bank Umum B sebesar Rp. 950 ribu. Oleh Bank Umum B setelah menahan
cadangan sebesar 5 % x Rp. 950 ribu = Rp. 47.500, sisa dananya sebesar Rp.
902.500 kemudian dipinjamkan kepada nasabahnya.
Nasabah yang memperoleh pinjaman dari Bank Umum B
membelanjakan uangnya tersebut sebagaimana dengan nasabah Bank Umum A
sebelumnya. Oleh pihak penjual yang melakukan transaksi tersebut disetorkan ke
rekeningnya di Bank Umum C sejumlah Rp. 902.500 yang kemudian menahan sebagian
jumlah tersebut sebagai cadangan likuiditas dan selanjutnya menyalurkannya kembali
kepada debitur. Proses transaksi seperti ini akan berulang secara terus menerus
yang akan berakhir pada suatu tahap di mana tidak ada lagi sisa cadangan
likuiditas sehingga loanable funds menjadi nihil dari jumlah simpanan giro
awal.
Pada proses penciptaan uang giral oleh bank umum tersebut
yang jumlah awalnya hanya sebesar Rp. 1 juta akan menjadi 20 juta setelah
melalui proses penciptaan uang giral dengan mekanisme yang sama seperti
dijelaskan di atas. Jumlah uang giral, cadangan likuiditas, dan kredit yang
diberikan pada akhir proses penciptaan dapat dihitung dengan menggunakan rumus
berikut:
D = S/r
Dimana:
D : Jumlah seluruh uang giral, cadangan dan kredit yang
diberikan yang akan terwujud dalam proses penciptaan uang.
S
: Jumlah uang giral, likuiditas dan kredit yang diberikan yang tercipta pada
awal proses penciptaan uang
r : Ketentuan bagian uang giral (dalam persen) yang harus
ditahan oleh bank sebagai cadangan likuiditas (reserve requirement).
a.
Tabungan giral : D = S/r
=
1.000.000/5% = Rp. 20.000.000
b.
Cadangan wajib : D = S/r
=
50.000/5% = Rp. 1.000.000
c.
Kredit yang diberikan
: D = S/r
=
950.000/5% = Rp. 19.000.000
H.
KETAHANAN KREDIT PERBANKAN SYARIAH ATAS
KRISIS
Sektor perbankan memiliki peran yang strategis untuk
penunjang kegiatan ekonomi suatu negara. fungsi bank sebagai lembaga
intermediasi keuangan untuk menjadi perantara antara pihak yang kelebihan dana
dan pihak yang membutuhkan dana,dan juga bank sebagai alur
transmisi dari kebijakan sektor riil ke sektor moneter. Dengan analogi sederhana
ini sistem perbankan akan sangat berpengaruh tehadap aktivitas perekonomian
suatu negara. Bisa dibayangkan dampak yang terjadi disektor riil ketika
perbankan mengalami permasalahan-permasalahan terkait keuangannya. Oleh karena
itu,perlu adanya kebijakan dan pengawasan yang ketat dari bank central
sebagai lembaga yang berperan penuh dalam penanganan sistem moneter disuatu negara.
Era sebelum terjadinya krisis ditahun 1998,
prestasi ekonomi Indonesia menjadi sorotan banyak negara,
dikarenakan estimasi pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun berkisar antara
6%-8%. Indonesia terlalu bangga atas prestasi yang telah dicapainya,
perusahan didalam negeri mencari sumber dana secara besar-besaran baik
dana domestic maupun manca negara. Perbankan dalam negeri royal kredit, disisi
lain perbankan luar negri sangat terbuka pada perusahaan indonesia yang hendak
mencari sumber pendanaan.Disaat Korea Selatan dan Thailand mulai
menunjukkan gejala krisis, Indonesia tampak bersikap tenang menghadapi hal itu
kerana merasa memiliki fundamental ekonomi yang cukup kuat untuk menahan
kejutan eksternal (external shock) yang diakibatkan kejatuhan ekonomi
Korea Selatan dan Thailand.
Pada bulan Agustus 1997 pemerintah mengeluarkan
kebijakan devisa mengambang ( free floating exchanging rate). sejak
kebijakan moneter tersebut dilakukan, mulailah terjadi krisis perbankan di
Indonesia yang kemudian menjadi a full-blownbanking crisis yang
berdampak berbagai sektor keuangan dan sektor rill. Dan krisis perbankan inilah
yang membawa Indonesia kedalam krisis multidemensi dimana perekonomian
Indonesia semakin terpuruk, menjadikan Indonesia negara yang paling terpuruk
dibandingkan dengan krisis yang melanda negara-negara di Asia (I putu dan
Soebowo, 2003).
Penyebab terjadinya krisis 1998
Beberapa penyebab krisis ekonomi tahun 1998
diantaranya adalah
1.
Stok
hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, dan
terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem
perbankan di Indonesia.
2.
Sejalan
dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang
pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
3.
Perkembangan
situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada
gilirannya memperbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
Penyebab krisis tahun 2008
·
Pasar SUN mengalami tekanan hebat tercermin dari
penurunan harga SUN atau kenaikan yield SUN secara tajam yakni dari rata-rata
sekitar 10% sebelum krisis menjadi 17,1% pada tanggal 20 November 2008;
(catatan: setiap 1% kenaikan yield SUN akan menambah beban biaya bunga SUN
sebesar Rp 1,4 Triliun di APBN).
·
Credit Default Swap (CDS) Indonesia mengalami
peningkatan secara tajam yakni dari sekitar 250 bps awal tahun 2008 menjadi di
atas 980 bps pada bulan November 2008. Hal ini menunjukkan bahwa pasar menilai
country risk Indonesia yang tinggi pada saat itu.
·
Terdapat gangguan likuiditas di pasar karena
peningkatan liquidity premium akibat pelebaran bid-ask spread dalam perdagangan
di pasar saham, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadi capital flight.
·
Cadangan Devisa mengalami penurunan 13% dari US$ 59,45
miliar per Juni 2008 menjadi 51.64 miliar per Desember 2008 yang
mengindikasikan terjadi capital flight.
·
Rupiah terdepresiasi 30,9% dari Rp 9.840 per Januari
2008 menjadi Rp 12.100 per November 2008 dengan volatilitas yang tinggi.
·
Terdapat potensi terjadi capital flight (arus dana
keluar) yang lebih besar lagi dari para deposan bank karena tidak adanya sistem
penjaminan penuh (full guarantee) di Indonesia seperti yang sudah diterapkan di
Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan dan Korea.
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan krisis pada
tahun 2008 yang juga terjadi saat ini, yaitu depresiasi nilai tukar rupiah
akibat defisit yang terus menerus dalam neraca perdagangan, serta penarikan
dana asing yang tidak bisa ditahan lagi.
Kenaikan BI rate
Kebijakan uang ketat ( Tight money policy)
dibuat Bank Indonesia untuk mencegah inflasi, dengan menaikkan tingkat suku
bunga dari yang asalnya 7,25% menjadi 7,5%. Dikarenakan rupiah mengalami
depresiasi yang berflutuatif setiap harinya yang masih berkisar antara 11,000
sampai 12,000 per US dolar, penaikkan tingkat suku bunga itu juga bertujuan
untuk menarik kembali dana investor asing kedalam negeri. Namun, dewasa ini
fakta telah berbicara kebijakan menaikkan tingkat suku bunga tidak
mencapai hasil yang sesuai dengan yang dinginkan. Bahkan kenaikan BI rate
menyebabkan kegiatan perekonomian disektor rill melamban dan juga menurunkan
minat investasi masyarakat bukan hanya disektor rill,investasi dipasar modal
juga menurun seperti yang terjadi pada Index Harga Saham Gabungan (IHSG) yang
mengalami penurunan sebesar 1.8% ke angka 4.301,89
menjelang penutupan 13/11/2013 lalu.
Ketahanan sistem syariah
Bank Syariah pertama kali yang berdiri di Indonesia
(Bank Muamalat) dapat membuktikan ketahanannya pada masa krisis tahun
1997-1998, meski mengalami penurunan profit yang
didapat. Bank Muamalat yang pada dasarnya menggunakan prinsip bagi hasil,
selamat dari krisis akibat produk-produknya yang variatif, seperti contoh
produk pembiayan Murabahah yang tidak terpengaruh oleh fluktuasi BI rate,
sehingga sektor rill yang menggunakan pembiayan ini juga selamat dari
dampak buruk kenaikan BI rate. berbeda dengan apa yang dialami oleh perbankan
konvensional, yang pada saat itu menyebabkan 16 bank ditutup
(dilikuidasi), berikutnya 38 bank, Selanjutnya 55 buah bank masuk kategori BTO
dalam pengawasan BPPN ( Agustianto, 2006).
Dari beberapa periode krisis ekonomi di Indonesia
dapat dianalis secara sederhana bahwa dalang dari semua itu adalah terjadinya
spekulatif pada sektor keuangan dan fluktuasi bunga yang tidak stabil..dalam islam uang hanyalah sebagai medium of exchange
(alat tukar), bukan suatu komoditas yang bisa diperjualbelikan dan diperlukan
untuk dikonsumsi, ia tidak diperlukan untuk dirinya sendiri, melainkan
diperlukan untuk membeli barang lain sehingga kebutuhan manusia dapat
terpenuhi, islam sangat melarang adanya tindak spekulasi dalam keuangan
dan juga dengan adanya bunga dalam sebuah transaksi perekonomian karena
mengakibatkan ketimpangan antara sector riil dan moneter.
Dalam dunia usaha menurut islam untuk mendapat profit
perlu adanya sebuah usaha yang dilakukan, hal ini sangat bertolak belakang
dengan sistem bunga yang mana profit bisa didapat tanpa usaha dan resiko. Jika,
Indonesia masih berkibalat pada bunga dalam sistem kapitalis, maka akan
merefleksikan kembali terhadap kelemahan-kelemahan yang ada.
Allah telah menegaskas larangan riba, dilemanya
masyarakat Indonesia hari ini seperti orang gila yang kerasukan setan,
mengikuti sistem-sistem kapitalis. Allah telah melarang sesuatu zdemi kebaikan
hambanya. Inilah sekecil-kecilnya azab Allah propoganda dalam kegiatan ekonomi
yang tidak jelas arah dan tujuannya. Cara yang terbaik menata kehidupan yang
jauh dari masalah yang pelik dengan meninggalkan sisa riba dan kembali kejalan
Allah. kebijakan yang telah ditetapkan dalam hukum-hukum islam sebagai panduan
untuk menjalani kehidupan yang lebih sukses, tidak ada alasan mengkondisikan
permasalahan-permasalahan yang ada. Suksesnya ekonomi bangsa Indonesia ada
ditangan-tangan pemuda yang mengikuti ajaran syariat.
Proses mengubah suatu kebiasaan tidak mudah seperti membalik telapak
tangan. Namun, ketika peringatan dan ancaman Allah disampaikan, tidak ada
alasan untuk membangkang. Mengoptimalisasi akad pada produk perbankan syariah,
dengan mensosialisasi akad-akad pada produk yang sudah ada diperbankan
syariah adalah salah satu bukti jihad dalam memperjuangkan ilmu ekonomi islam,
dan menjauhkan kegiatan riba terhadap sesama.
Kebijakan yang dapat diambil oleh perbankan syariah untuk meminimalisir
dana, bekerjasama dengan institusi ekonomi syariah, jika ada mahasiswa
semester akhir yang sedang pratik lapangan, ini adalah awal dari tugas meraka
untuk mengabdikan diri dengan masyarakat, yaitu dengan memberi penyuluhan
tentang bekerjasama dengan lembaga keuangan syariah pada skim pembiayaan, dan
tentang cara melakukan kegiatan usaha yang lebih profitable dengan prinsip bagi
hasil. Dengan cara seperti ini dalam menghadapi kemajuan kegiatan ekonomi
Indonesia pada tahun 2030 akan menjadi kenyataan. Indonesia akan lebih matang
mempersiapkan diri dengan belajar dari pengalaman-pengalaman yang sudah ada.
Melalui sosialisasi yang maksimal antara pihak perbankan syariah dan masyarakat
( sektor rill) akan menumbuhkan nilai-nilai kepercayaan , sehingga kedua sektor
ini akan lebih berkembang.
Proses mengubah suatu kebiasaan tidak mudah seperti membalik telapak
tangan. Namun, ketika peringatan dan ancaman Allah disampaikan, tidak ada
alasan untuk membangkang. Mengoptimalisasi akad pada produk perbankan syariah,
seperti murabahah ( jual-beli) yang bebas unsur tadlis, mudhorabah
( bagi hasil) sebagai core product yang membedakan antara Lembaga
keuangan Syariah dan Konvensional, musyarakah ( kerja sama) bank ikut
berkontribusi sebagian modal yang diutuhkan oleh mudhorib sebagai bentuk
team work yang mutualisasi. Usaha maksimal penyeluhan dan seminar
series terhadap pengenalan akad-akad produk perbankan syariah, akan
mampu bertahan dari krisis ekonomi Indonesia, dan mampu bersaing dalam
pengembangan lembaga keuangan syariah pada tahun 2030.
Dalam
dunia perbankan di Indonesia sendiri, krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998
membuktikan kekuatan imunitas lembaga perbankan syariah dibandingkan dengan
Bank Konvensional yang pada saat itu rata-rata mengalami kebangkrutan. Sebanyak
650 Trilyun dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sepenuhnya mengalir
pada Bank Konvensional, bukan pada Bank Syariah yang pada saat itu adalah Bank
Muamalat, Bank Syariah pertama dan satu-satunya di Indonesia pada masa itu.
Imunitas Bank Muamalat pada saat itu membuat isu mengenai perbankan syariah
melejit sebagai salah satu alternatif baru di dunia perbankan. Pengalaman pada
masa krisis ekonomi 1997-1998 menciptakan banyak kajian mengenai alasan-alasan
mengapa Bank Syariah lebih mampu bertahan dalam krisis ekonomi dibanding dengan
Bank Konvensional seiring dengan tumbuhnya Bank-Bank Syariah baru di Indonesia.
Pertahanan
sistem perbankan Indonesia kembali diuji ketika krisis ekonomi kembali terjadi
pada pertengahan tahun 2008. Diawali
dengan kolapsnya lembaga-lembaga keuangan Amerika seperti beberapa bank-bank
komersial, lembaga investasi dan lembaga keuangan non bank yang besar di negeri
Adidaya ini. Dan tentunya krisis, mengimbas kepada lembaga-lembaga keuangan di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Perekonomian
maupun perbankan Indonesia menghadapi permasalahan krusial akibat dampak krisis
ekonomi global, sejak September 2008 hingga 2010 meskipun tidak separah di
tahun 1997. Salah satu elemen yang menjadi senjata yang ampuh untuk menghadapi
krisis ekonomi global adalah dengan mulai tumbuhnya perbankan syariah di negeri
kita. Selain BMI, bank-Bank Konvensional mulai menerapkan dual banking System, Seperti Bank Mandiri, mempunyai
Bank Syariah Mandiri, begitu pula Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia,
mempunyai divisi syariah ataupun Bank Syariah. Bank-bank swasta pun telah
memperlakukan dual banking
System,seperti Bank Niaga, Bank IFI, Bank Permata, BCA maupun bank-bank
pemerintah, BUMN, maupun bank swasta lainnya. Bukti nyata eksistensi perbankan
syariah di tengah krisis ekonomi global adalah pada periode tersebut Bank
Muamalat justru berhasil membukukan laba lebih dari 300 Milyar.
Krisis moneter dan penurunan nilai tukar rupiah terjadi karena adanya krisis kualitas
lembaga-lembaga keuangan yang berbasis pada penerapan suku bunga. Tingginya
nilai suku bunga sebagai penyebab dari krisis moneter mengakibatkan ambruknya
dunia perbankan konvensional
dan sektor riil yang berpengaruh pada ketidakstabilan
pertumbuhan ekonomi.
Ada
beberapa hal yang terjadi pada Bank Konvensional dan perekonomian Indonesia
ketika krisis moneter melanda: Pertama, Perbankan konvensional tidak memiliki ketersediaan dana liquid yang cukup untuk
operasionalnya. Nasabah peminjam mengalami ketidakmampuan untuk
mengembalikan dana pinjaman karena tingginya nilai suku bunga. Kemacetan
pengembalian dana pinjaman dari pihak nasabah ke perbankan berimplikasi pada
ketidakmampuan pihak perbankan untuk mengembalikan dana pinjaman kepada Bank
Indonesia. Sehingga pada saat nilai suku bunga melonjak tinggi, kondisi
ini mengakibatkan goncangan pada sistem manajemen moneter perbankan
konvensional.
Hal
yang sama tak berlaku di Bank Syariah. Dana masyarakat yang disimpan di
bank disalurkan kepada para peminjam untuk mendapatkan keuntungan Hasil
keuntungan akan dibagi antara pihak penabung dan pihak bank sesuai perjanjian
yang disepakati. Namun bagi hasil yang dimaksud adalah bukan membagi keuntungan
atau kerugian atas pemanfaatan dana tersebut. Keuntungan dan kerugian dana
nasabah yang dioperasikan sepenuhnya menjadi hak dan tanggung jawab dari
bank. Penabung tak memperoleh imbalan dan tak bertanggung jawab jika terjadi
kerugian. Bukan berarti penabung gigit jari tapi mereka mendapat bonus sesuai
kesepakatan.
Dari
perbandingan itu terlihat bahwa dengan sistem riba pada Bank Konvensional
penabung akan menerima bunga sebesar ketentuan bank. Namun pembagian bunga tak
terkait dengan pendapatan bank itu sendiri. Sehingga berapapun pendapatan bank,
nasabah hanya mendapatkan keuntungan sebesar bunga yang dijanjikan
saja. Sekilas perbedaan itu memperlihatkan di Bank Syariah nasabah
mendapatkan keuntungan bagi hasil yang jumlahnya tergantung pendapatan bank.
Jika pendapatan Bank Syariah naik maka makin besar pula jumlah bagi hasil
yang didapat nasabah. Ketentuan ini juga berlaku jika bank mendapatkan
keuntungan sedikit.
Namun bukan berarti dengan tidak
digunakannya sistem bunga di Bank Syariah maka perbankan syariah tidak akan
terpengaruh sama sekali dengan krisis ekonomi. Pengaruh ini sedikit banyak akan
tetap dirasakan oleh Bank Syariah Ketika suku bunga Bank naik, maka kredit
menjadi ‘mahal’ dan kegiatan investasi menjadi surut. Hal ini mengakibatkan
kegiatan perekonomian di masyarakat menurun. Penurunan aktivitas ekonomi ini
berakibat pada penurunan profit usaha yang pada akhirnya mengakibatkan
penurunan bagi hasil yang bisa diberikan oleh Bank Syariah. Jika aktivitas
ekonomi menurun tajam, maka nilai bagi hasil bisa menjadi sangat kecil.
Kecilnya nilai bagi hasil ini bisa mempengaruhi jumlah nasabah yang menggunakan
jasa Bank Syariah, sehingga Bank Syariah harus benar-benar mempertimbangkan
langkah untuk menjaga nilai bagi hasil ini untuk mempertahankan nasabahnya,
termasuk, salah satu jalannya, dengan memangkas margin keuntungannya.
Kesimpulan: Banyaknya
wacana yang menyebutkan bahwa perbankan syariah merupakan jalan keluar dari
segala jenis krisis ekonomi global yang mampu menyerang perekonomian dunia
karena dinilai kebal terhadap krisis memang tidak sepenuhnya benar. Krisis
ekonomi global mengguncang semua aspek perekonomian, termasuk akan berdampak
pula pada perolehan profit perusahaan yang kemudian berdampak pada menurunnya
jumlah bagi hasil antara Bank Syariah dan Perusahaan atau bahkan akan terjadi
pembagian tanggungan kerugian.
Terlepas
dari resiko kerugian yang kemungkinan terjadi, sesungguhnya perbankan syariah
dengan skema musyarakah/mudharabah akan memberikan manfaat positif bagi
perekonomian Indonesia (Beik, 2006) : Pertama, akan menggairahkan sektor riil.
Investasi akan meningkat yang disertai dengan pembukaan lapangan kerja baru.
Dampaknya, tingkat pengangguran akan dapat dikurangi dan pendapatan masyarakat
akan bertambah. Yang kedua, ditinjau dari sisi nasabah. Nasabah akan memiliki 2
pilihan, apakah akan mendepositokan dananya pada Bank Syariah atau Bank
Konvensional. Nasabah akan membandingkan secara cermat antara expected rate
of return yang ditawarkan Bank Syariah dengan tingkat suku bunga yang
ditawarkan oleh Bank Konvensional, dimana selama ini fakta telah membuktikan,
ternyata rate of return Bank Syariah lebih tinggi bila dibandingkan
dengan interest rate yang berlaku pada Bank Konvensional. Sehingga ini
akan menjadi faktor pendorong meningkatnya jumlah nasabah. Dampak yang ketiga
adalah akan mendorong tumbuhnya pengusaha / investor yang berani mengambil
keputusan bisnis yang beresiko. Hal ini akan menyebabkan berkembangnya berbagai
inovasi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing bangsa ini. Inovasi
adalah kata kunci di dalam memenangkan persaingan global.
Dampak
selanjutnya
adalah dapat
mengurangi peluang terjadinya resesi ekonomi dan krisis keuangan. Hal ini dikarenakan
Bank Syariah adalah institusi keuangan yang berbasis aset (asset-based).
Artinya,
Bank Syariah
adalah institusi yang berbasis produksi (production-based). Bank Syariah
bertransaksi berdasarkan aset riil dan bukan mengandalkan pada kertas kerja semata.
Sementara di
sisi lain, Bank Konvensional hanya bertransaksi berdasarkan paper work dan
dokumen semata, kemudian membebankan bunga dengan prosentase tertentu kepada
calon investor. Pola pembiayaan musyarakah/mudarabah adalah pola pembiayaan
yang berbasis pada produksi. Krisis keuangan dapat diminamilisir karena balance
sheet perusahaan relatif stabil. Hal ini dikarenakan posisinya sebagai
mudharib, dimana perusahaan tidak menanggung kerugian yang ada, apabila
kerugian tersebut disebabkan oleh kondisi luar biasa yang tidak diprediksikan
sebelumnya, misalnya diakibatkan oleh bencana alam. Maksudnya, keadaan tersebut
terjadi secara tidak disengaja dan diluar batas kemampuan. Dengan demikian,
semua beban kerugian akan ditanggung oleh Bank Syariah sebagai rabbul-mal.
Selanjutnya, pola musyarakah/mudarabah dapat menjadi solusi alternatif atas
masalah over likuiditas yang saat ini terjadi. Kondisi over likuiditas ini
dapat disiasati dengan menyalurkannya pada sektor riil.
Dari
penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Bank Syariah perlu menggarap
sektor riil secara lebih optimal dan matang melalui pembiayaan berdasarkan
skema musyarakah/mudharabah. Dengan demikian, Bank Syariah dapat berperan lebih
signifikan di dalam upaya mengatasi permasalahan ekonomi Indonesia, termasuk
membangun imunitas terhadap krisis ekonomi global.