Jumat, 22 Desember 2017

PENGEMBALIAN DAN PENGENDALIAN UANG DARI PERSPEKTIF ISLAM



BAB 13

PENGEMBALIAN DAN PENGENDALIAN UANG
DARI PERSPEKTIF  ISLAM


A.            EVOLUSI UANG SEBAGAI SEBUAH KONVENSI SOSIAL
Uang yang kita kenal sekarang ini telah mengalami proses perkembangan yang panjang. Pada mulanya, masyarakat belum mengenal pertukaran karena setiap orang berusaha memenuhi kebutuhannnya dengan usaha sendiri. Manusia berburu jika ia lapar, membuat pakaian sendiri dari bahan-bahan yang sederhana, mencari buah-buahan untuk konsumsi sendiri; singkatnya, apa yang diperolehnya itulah yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya.

Perkembangan selanjutnya mengahadapkan manusia pada kenyataan bahwa apa yang diproduksi sendiri ternyata tidak cukup untuk memenuhui seluruh kebutuhannya. Untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri, mereka mencari orang yang mau menukarkan barang yang dimiliki dengan barang lain yang dibutuhkan olehnya. Akibatnya muncullah sistem barter, yaitu barang yang ditukar dengan barang.

Namun pada akhirnya, banyak kesulitan-kesulitan yang dirasakan dengan sistem ini. Di antaranya adalah kesulitan untuk menemukan orang yang mempunyai barang yang diinginkan dan juga mau menukarkan barang yang dimilikinya serta kesulitan untuk memperoleh barang yang dapat dipertukarkan satu sama lainnya dengan nilai pertukaran yang seimbang atau hampir sama nilainya. Untuk mengatasinya, mulailah timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan benda-benda tertentu untuk digunakan sebagai alat tukar. Benda-benda yang ditetapkan sebagai alat pertukaran itu adalah benda-benda yang diterima oleh umum (generally accepted), benda-benda yang dipilih bernilai tinggi (sukar diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau benda-benda yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari; misalnya garam yang oleh orang Romawi digunakan sebagai alat tukar maupun sebagai alat pembayaran upah. Pengaruh orang Romawi tersebut masih terlihat sampai sekarang; orang Inggris menyebut upah sebagai salary yang berasal dari bahasa Latin salarium yang berarti garam.

Meskipun alat tukar sudah ada, kesulitan dalam pertukaran tetap ada. Kesulitan-kesulitan itu antara lain karena benda-benda yang dijadikan alat tukar belum mempunyai pecahan sehingga penentuan nilai uang, penyimpanan (storage), dan pengangkutan (transportation) menjadi sulit dilakukan serta timbul pula kesulitan akibat kurangnya daya tahan benda-benda tersebut sehingga mudah hancur atau tidak tahan lama.

Problema Barter menurut Al-Ghazali:
1.              Kurang memiliki angka penyebut yang sama (lack of common denominator)
2.              Barang tidak dapat dibagi-bagi (indivisibility of goods)
3.              Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants)
Sebelum adanya uang yang dipakai ditengah masyarakat sekarang ini sampai adanya benda-benda yang disepekati sebagai uang untuk ditukarkan dalam proses transaksi jual beli. Uang memiliki sejarah dan evolusi (perubahan), baik bahan (materinya) maupun bentuknya sesuai dengan perkembangan zaman. Sejarah dan evolusi uang dibagi menjadi 3 periode, yaitu sebagai berikut:
1.              Periode Sebelum Barter

Pada awal peradaban, manusia memenuhi kebutuhannya secara mandiri, mereka memperoleh makanan dari berburu dan memakan berbagai buah-buahan. Karena jenis kebutuhannya masih sederhana, mereka belum membutuhkan orang lain. Masing-masing individu memiliki kebutuhan makanannya secara mandiri. Dalam periode yang dikenal sebagai periode prabarter ini, manusia belum mengenal transaksi perdagangan atau dikenal dengan jual-beli.

2.              Periode Barter

Ketika jumlah manusia semakin bertambah dan peradabanya semakin maju, kegiatan dan interaksi antar sesama manusiapun meningkat. Jumlah dan jenis kebutuhan manusia juga semakin beragam. Ketika itulah, masing-masing individu mulai tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Bisa dipahami karena ketika seseorang menghabiskan waktunya seharian untuk bercocok tanam, pada saat bersamaan tentu ia tidak bisa memperoleh ikan, menenun pakaian sendiri atau kebutuhan lainnya. Satu sama lain mulai membutuhkan, karena tiddak ada individu yang secara sempurna mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Sejak saat itulah, manusia mulai menggunakan berbagai cara dan alat untuk melangsungkan pertukaran barang dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Pada tahapan peradaban manusia yang masih sangat sederhana mereka dapat menyelenggarakan tukar-menukar kebutuhan dengan cara barter (pertukaran barang dengan barang).
3.              Periode Setelah Barter
Untuk mengatasinya, mulai timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan benda benda yang digunakan sebagai alat tukar (commodity money). Benda-benda yang ditetapkan sebagai alat pertukaran itu adalah benda-benda yang diterima oleh umum (generally accepted), benda-benda yang dipilih bernilai tingggi (sukar diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau benda-benda yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari. Benda-benda yang pernah dijadikan sebagai uang adalah keramik, kulit binatang langka, kulit kerang, tembakau, manik-manik, garam, bahkan dibeberapa komunitas tertentu gigi ikan pari atau taring binatang buas lebih disukai sebagai uang karena dianggap mengandung nilai-nilai magis.

B.            PROSES MASUKNYA UANG KE NEGARA
Ø   Evolusi Uang Dari Logam Ke Kertas
Pada abad pertengahan, kulit kerang lazim digunakan sebagai uang hampir diseluruh bagian di empat benua yaitu Eropa, Asia, Amerika dan Afrika Barat. Bahkan di Persia dan di Italia Kuno pernah dikenal binatang ternak sebagai uang. Namun sejalan dengan bertambah majunya kehidupan perekonomian, maka selanjutnya benda yang dipergunakan sebagai uang beralih dari benda-benda yang disebutkan tadi ke logam yang dianggap lebih baik dan lebih praktis dibandingkan dengan benda-benda lainnya, terutama juga karena daya tahan/kekuatannya yang lebih baik karena tidak mudah rusak serta memungkinkan untuk dibuat dalam bermacam-macam bentuk, ukuran serta berat sesuai dengan kebutuhan.
Adapun logam yang digunakan sebagai uang ialah besi, perunggu, seng, tembaga, perak, dan emas atau campuran dari berbagai macam logam tersebut.
Negara-negara yang pertama-tama menggunakan logam sebagai uang ialah Mesir Kuno, Babylonia, Assyiria, Cina, dan Yunani. Mengenai bentuknya, awal uang logam berbentuk bongkahan, batangan, lempengan, cincin dan kemudian terakhir berbentuk koin sebagai mana kita kenal dewasa ini. Bahkan dibeberapa negara antara lain Jepang, diakhir abad 20 masih dijumpai koin-koin dengan nilai tertentu yang bentuknya berlubang hampir seperti cincin.
Saat ini uang kertas tidak lagi mewakili sejumlah logam mulia seperti semula. Dengan demikian uang kertas saat ini merupakan uang kredit (kredit money) atau uang kepercayaan (fiduciare money) atau fiat money yang hanya mempunyai jaminan ala kadarnya bahkan mungkin tidak ada sama sekali bahkan dalam arti hanya memiliki nilai nominal yaitu nilai yang tertera pada uang tersebut. Masyarakat memegang dan menggunakan uang hanya berdasarkan kepercayaan semata-mata kepada pemerintah/lembaga yang menerbitkan uang tersebut.
Sedangkan uang logam yang beredar dewasa ini terdiri dari uang tanda (token money) yaitu uang yang nilai nominalnya lebih besar dari nilai instrinsiknya/materinya yaitu logamnya. Disamping itu, terdapat juga uang penuh (full bodied money) yaitu uang logam yang nilai nominalnya sama dengan nilai intrinsiknya/materinya/logamnya. Full bodied money dan token money merupakan commodity money yang berfungsi sebagai uang juga dapat diperdagangkan materinya yaitu logamnya.
Selanjutnya di samping kedua jenis uang tersebut, dewasa ini yaitu juga besar perannya dalam perekonomian terutama di negara-negara sistem perbankannya telah maju, terdapat pula jenis uang lain yaitu uang giral. Uang giral adalah uang yang berada pada rekening-rekening giro (sering juga disebut rekening koran atau current account, atau demand deposit account) pada bank-bank umum (commersial bank). Demikianlah sistem uang (money system) yaitu instrumen-instrumen/alat-alat pembayaran yang digunakan oleh suatu negara untuk mengatur penawaran uang, mengalami evolusi ke arah perkembangan bentuk uang yang ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan antara lain:
(1) Lebih enak dan nyaman digunakan sebagai alat tukar
(2) Tidak mudah rusak
(3) Tidak mudah dipalsukan
(4) Mudah disesuaikan (fleksibel) terhadap kebutuhan perekonomian yang terus berkembang
(5) Dapat dengan mudah dipengaruhi oleh Bank Sentral seandainya diperlukan dalam rangka stabilitas ekonomi, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

C.            BANK SENTRAL DAN STABILITAS EKONOMI
Bank Sentral tidak terlepas dari sejarah dikenalnya sistem uang sebagai alat tukar dalam perdagangan dan perekonomian secara umum, dan mulai ditemukannya metode perbankan untuk pertama kalinya dalam perekonomian dan perdagangan suatu negara. Di mana pada zaman dahulu alat tukar yang digunakan adalah memang berupa uang yang memang memiliki nilai intrinsik yang sama terhadap material yang terbuat dari uang tersebut. Biasanya berupa uang logam (emasperakperunggu, dll) yang memiliki nilai intrinsik yang sama terhadap nilai dari uang logam tersebut. Artinya jika uang logam emas seberat 1 gram bernilai 1000 misalnya, pada saat itu memang karena emas dengan kondisi 1 gr tersebut ketika diperdagangkan/dipertukarkan di mana-mana nilainya adalah 1000. Alat tukar dengan uang logam seperti ini sudah lebih maju dibandingkan dengan kondisi sebelumnya di mana perdagangan dilakukan dengan alat tukar yang belum bisa diterima oleh banyak kalangan atau bahkan sistem barter langsung terhadap barang yang diperdagangkan di mana ini menjadi cikal-bakal dimulainya perdagangan dalam sejarah peradaban manusia.
Seiring dengan waktu dan terus berkembangnya perdagangan dan perekonomian, alat tukar berupa uang logam tersebut mulai menjadi keterbatasan karena memang ketersediaan sumber daya alam yang terbatas untuk mencetak jenis uang seperti itu, dan ini menghambat potensi untuk berkembang lebih besarnya lagi perekonomian suatu negara sementara jenis-jenis produk baru dan bentuk industri baru sangat potensial untuk muncul namun amat disayangkan jika aktivitas perdagangan dan perekonomian secara umum harus terhambat karena mengikuti kemampuan ketersediaan uang berupa logam yang sangat terbatas tersebut.
Untuk itulah kemudian dikenal sistem uang kertas yang pertama kali ditemukan melalui sistem penjaminan yang dalam hal ini dilakukan oleh suatu badan penjamin sekaligus penyimpan yang disebut bank, di mana uang kertas yang dikeluarkan oleh bank tersebut dijamin memiliki nilai yang sama atau dijanjikan akan memiliki nilai beberapa kali lebih besar terhadap emas atau uang logam yang di simpan oleh nasabah/masyarakat pada waktu mendatang atau pada masa yang ditentukan. Pada praktik dan perkembangannya masing-masing, bank-bank yang pada saat itu membuat aturannya sendiri-sendiri dan jenis-jenis jaminan/uang kertasnya masing-masing yang sangat potensial merugikan masyarakat karena belum dikelola negara untuk memastikan tidak adanya penyimpangan atau aturan yang tidak adil. Di mana pada suatu ketika seorang nasabah berniat untuk mengambil kembali emas atau uang logam yang disimpan pada bank tersebut dengan cara menukar kembali uang kertas yang dia dapat dari bank tersebut ternyata harus kecewa karena uang logam yang dia terima lebih sedikit dari yang dijanjikan atau bahkan lebih kecil dari jumlah yang sama dari yang pernah ia simpan ke bank tersebut. Pada masa itulah mulai terjadi untuk pertama kalinya dalam sejarah model-model fraud dan rekayasa dalam sektor industri yang baru ini, yaitu sektor keuangan.
Sejak itulah negara menyadari perlunya suatu bank sentral yang selanjutnya didirikan dengan tujuan untuk memastikan adanya satu jenis mata uang kertas yang sama dan berlaku di suatu negara tersebut agar memiliki nilai yang stabil dan dapat dipercaya karena dijamin oleh negara (dengan cara awalnya negara menjamin uang kertas tersebut dengan sejumlah emas deposit atau logam berharga lainnya yang dicadangkan setiap mencetak nominal uang tersebut, namun belakangan tidak lagi dan jaminannya hanya atas nama negara saja atau sejumlah kecil emas) dan dapat dipergunakan terus menerus oleh masyarakat dalam menjalankan aktivitas perekenomiannya di negara tersebut. Dan dengan kewenangannya bank sentral mengatur jumlah uang yang beredar tersebut agar dapat menggerakkan roda perekonomian dengan keseimbangan yang tepat antara peredaran jumlah uang dan barang, dan dapat terus saling mengembangkan, dengan cara tidak sampai menyebabkan kelebihan jumlah likuiditas/uang yang beredar dalam perekonomian negara tersebut yang dapat menyebabkan inflasi (naiknya harga-harga atau turunnya nilai uang), dan juga sebaliknya jangan sampai terjadi kekurangan likuiditas yang dapat menyebabkan perekonomian sulit bergerak apalagi untuk berkembang.
Adapun peran dan fungsi bank sentral (bank Indonesia) yaitu:
1.              Memperlancar lalu lintas pembayaran.
·                menciptakan uang kartal,
·                menyelenggarakan kliring antar bank umum.
2.              Sebagai bankir, agen dan penasehat pemerintah.
·                Bank Sentral sebagai bankir :
o      memelihara rekening pemerintah
o      memberikan pinjaman sementara
o      memberikan pinjaman khusus
o      melaksanakan transaksi yang menyangkut jual beli valuta asing (valas)
o      menerima pembayaran pajak
o      membantu pembayaran pemerintah dari pusat ke daerah
o      membantu pengedaran surat berharga pemerintah
o      mengumpulkan dan menganalisis data ekonomi
·                Bank sentral sebagai agen dan penasehat pemerintah :
o      mengadministrasi dan mengelola hutang nasional
o      memberikan jasa pembayaran bunga atas hutang
o      memberikan saran dan informasi mengenai keadaan pasar uang dan modal.
3.              Memelihara cadangan/cash reserve bank umum.
4.              Memelihara cadangan devisa Negara.
·                internal reserve, untuk keperluan jumlah uang beredar
·                eksternal reserve, untuk alat pernbayaran internasional
5.              Sebagai bankers bank dan lender of last resort,Bank Sentral memiliki peran khusus dalam sistem moneter yaitu sebagai sumber peminjaman bagi bank-bank dan menjadi sumber terakhir bagi bank-bank tersebut dalam mendapatkan pinjaman ketika bank yang bersangkutan mengalami kesulitan likuiditas (lender of the last resort).
6.              Mengawasi kredit.
7.              Mengawasi bank (bank supervision)
·                Prudential Supervision: pengawasan bank yang diarahkan agar individual bank dapat dijaga kelangsungan hidupnya sehingga kepentingan masyarakat dapat dilindungi.
·                Monetary Supervision: menjaga nilai mata uang negara yang bersangkutan sehingga bank tersebut dapat menjadi penyangga kebijakan moneter maupun kebijakan ekonomi pemerintah lainnya.
8.              Melakukan Riset-Riset Ekonomi (Economic Research).
·                Bank Sentral berperan sebagai lembaga untuk melakukan Riset-riset ekonomi yang berkaitan dengan masalah dan perkembangan sektor moneter. Hal ini berkaitan dengan tujuan Bank Sentral, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral melakukan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.

Ø   Stabilitas ekonomi
Stabilitas perekonomian adalah prasyarat dasar untuk tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pertumbuhan yang tinggi dan peningkatan kualitas pertumbuhan. Stabilitas perekonomian sangat penting untuk memberikan kepastian berusaha bagi para pelaku ekonomi. Stabilitas ekonomi makro dicapai ketika hubungan variabel ekonomi makro yang utama berada dalam keseimbangan, misalnya antara permintaan domestik dengan keluaran nasional, neraca pembayaran, penerimaan dan pengeluaran fiskal, serta tabungan dan investasi. Hubungan tersebut tidak selalu harus dalam keseimbangan yang sangat tepat. Ketidakseimbangan fiskal dan neraca pembayaran misalnya tetap sejalan dengan stabilitas ekonomi asalkan dapat dibiayai secara berkesinambungan. 
Perekonomian yang tidak stabil menimbulkan biaya yang tinggi bagi perekonomian dan masyarakat. Ketidakstabilan akan menyulitkan masyarakat, baik swasta maupun rumah tangga, untuk menyusun rencana ke depan, khususnya dalam jangka lebih panjang yang dibutuhkan bagi investasi. Tingkat investasi yang rendah akan menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi panjang. Adanya fluktuasi yang tinggi dalam pertumbuhan keluaran produksi akan mengurangi tingkat keahlian tenaga kerja yang lama menganggur. Inflasi yang tinggi dan fluktuasi yang tinggi menimbulkan biaya yang sangat besar kepada masyarakat. Beban terberat akibat inflasi yang tinggi akan dirasakan oleh penduduk miskin yang mengalami penurunan daya beli. Inflasi yang berfluktuasi tinggi menyulitkan pembedaan pergerakan harga yang disebabkan oleh perubahan permintaan atau penawaran barang dan jasa dari kenaikan umum harga-harga yang disebabkan oleh permintaan yang berlebih. Akibatnya terjadi alokasi inefisiensi sumber daya. 
Mengingat pentingnya stabilitas ekonomi makro bagi kelancaran dan pencapaian sasaran pembangunan nasional, Pemerintah bertekad untuk terus menciptakan dan memantapkan stabilitas ekonomi makro. Salah satu arah kerangka ekonomi makro dalam jangka menengah adalah untuk menjaga stabilitas ekonomi makro dan mencegah timbulnya fluktuasi yang berlebihan di dalam perekonomian.

D.            STANDAR EMAS (THE GOLD STANDARD)
Standar emas merupakan istilah yang merujuk pada sistem moneter yang alih-alih menggunakan mata uang, menggunakan emas murni sebagai alat pembayaran yang sah, emas sebagai satuan dasar nilai uang, serta dasar perbandingan nilai berbagai mata uang. Standar emas pernah dberlakukan di negara Inggris pada tahun 1821, pernah pula dipakai oleh Amerika Serikat pada tahun 1870-an hingga tahun 1971.
Sistem standar emas internasional muncul mulai tahun 1870 di Inggris. Pemerintah Inggris menetapkan nilai pounsterling dengan emas. Perkembangan industri yang terjadi di Inggris serta perdagangan dunia yang makin berkembang pada abad 19 menambah kepercayaan dunia terhadap emas. Kepercayaan ini diperkuat dengan ditemukannya tambang emas di Amerika dan Afrika Utara. Dengan kejadian-kejadian tersebut sistem standar emas merupakan suatu sistem yang dipakai oleh banyak negara semenjak 1970 hingga perang dunia pertama.
Perdagangan yang semakin meningkat membuat kebutuhan sistem pertukaran yang lebih formal menjadi semakin terasa. Standar emas pada dasarnya menetapkan nilai tukar mata uang negara berdasarkan emas. Pemerintah atau Negara yang bersangkutan harus menjaga persediaan emas yang cukup untuk menjamin jual-beli emas. Jika pemerintah negara lain juga menetapkan nilai mata uangnya berdasarkan, maka kurs antar dua mata uang bisa ditentukan. Nilai emas terhadap barang lain tidak banyak berubah dalam jangka panjang, stabilitas nilai uang dan kurs mata uang tidak banyak berfluktuasi dalam jangka panjang.
Standar emas berbeda dengan mata uang fiat (fiat money). Dalam mata uang fiat, nilai mata uang ditentukan berdasarkan kepercayaan terhadap kemauan pemerintah menjaga integritas menjag mata uang tersebut. Seringkali kepercayaan tersebut disalahgunakan. Pemerintah kadang tergoda menerbitan uang baru, karena biaya produksi penerbitan tersebut adalah 0 rupiah. Dengan menggunakan standar emas, nilai mata uang didasarkan pada emas. Pemerintah tidak bisa seenaknya menambah jumlah uang yang beredar , karena suplai uang dibatasi oleh suplai emas.
Dengan proses tersebut kurs mata uang bisa terjaga selama negara-negara di dunia memakai emas sebagai standar mata uangnya. Inflasi yang berkepanjangan tidak akan terjadi di dalam situasi semacam itu.
Dengan adanya Perang Dunia I (1919-1923) serta depresi dunia (1931-1934) negara-negara di Eropa dilanda inflasi serta ketidaksetabilan politik. Sistem moneter Internasional menjadi kacau. Kekacauan ini menimbulkan kurang kepercayaan dunia terhadap poundsterling yang masih dikaitkan dengan emas. Poundsterling makin lama makin lemah posisinya. Kelemahan ini ditambah keharusan Inggris untuk memberi bantuan kepada Jerman. Pada tahun 1931 Inggris menanggalkan standar emas dan poundsterling jatuh nilainya, diikuti oleh dolar Amerika.
1.              Periode Perang Dunia (1914-1994)
Perang dunia I mengakhiri standar emas klasik. Periode antara kedua perang dunia secara umum ditandai oleh kekacauan perdagangan dan keuangan internasional. Terjadinya fluktuasi kurs sejak akhir perang sampai tahun 1925 (kecuali di Amerika Serikat, yang kembali ke standar emas dalam tahun 1919). Mulai tahun 1925, suatu usaha dilakukan untuk menetapkan kembali standar emas, akan tetapi runtuh tahun 1991 pada waktu Depresi Besar. Kemudian disusul dengan periode persaingan Devaluasi, ketika negara-negara mencoba untuk  mengekspor pengangguran mereka (kebijakan mengemis tetangga mereka). Tarif, kuota dan pengawasan nilai tukar juga meluas, dengan akibat volume perdagangan dunia berkurang hampir setengahnya. Kecenderungan devlasioner dapat diatasi sepenuhnya suaktu negara-negara dipersenjatai kembali untuk perang dunia II.

2.              Periode Kurs Tetap
Periode ini dimulai dengan  perjanjian Bretton Woods. Melalui  perjanjian ini, semua negara menetapkan nilai tukar mata uangnya melaui emas, tetapi tidak diharuskan memenuhi konverbilitas mata uang mereka dalam emas. Negara anggota diminta menjaga kursnya dalam batas 1% (naik atau turun) dan bersedia menjaga kurs tersebut. IMF membantu negara anggotanya dalam rangka menjaga kurs mata uangnya.
Tekanan spekulasi menyebabkan sistem kurs tetap tidak layak lagi dipertahankan. Pasar keuangan dunia sempat tutup selama beberpa minggu dalam bulan Maret 1973. Ketika pasar tersebut dibuka, kurs mata uang dibiarkan mengambang sampai ke kurs yang ditentukan oleh kekuatan pasar.

3.              Post Bretton Woods
Pada tanggal 22 Juli 1944 diadakan suatu konferensi moneter Internasional, yang dikenal dengan The Bretton Woods Conference, yang dihadiri oleh 44 negara. Konferensi tersebut bertujuan untuk menyusun rencana pembuatan sistem moneter. Dua tahun setelah konferensi tersebut, didirikan IMF dan Bank Dunia untuk mengawasi sistem tersebut. .
Selama periode 1944-1973 dolar merupakan mata uang yang sangat penting dalam lalu lintas pembayaran Internasional. Peranan dolar ini timbul setelah perang dunia II, dusebabkan saat itu terjadi kekurangan dolar. Negara-negara Eropa yang sangat memerlukan uang /dana untuk memulihkan keadaan ekonominya. Satu-satunya sumber adalah Amerika Serikat, sehingga dolar banyak diminta. Konsekuensinya, emas menjadi tergeser oleh dolar. Sebab, disamping memiliki tenaga beli yang kuat di Amerika, reserves dalam bentuk dolar akan membelikan penghasilan bunga. Dengan semakin pentingnya fungsi dolar, maka setiap anggota menetapkan perbandingan mata uangnya terhadap dolar, yang kemudian apabila perlu dapat ditukarkan dengan emas.
DMI beranggotakan 134 negara, diantaranya 10 negara maju mempunyai posisi yang sangat kuat di dalam mengambil keputusan. Setiap anggota memperoleh jatah/quota, yang harus dibayar 25% dengan emas dan sisanya 75% dengan mata uangnya. Besarnya quota menentukan hak suaranya serta jumlah pinjaman yang dapat diperoleh dari DMI. Dana pertama DMI dengan sendirinya 25% terdiri dari emas dan 75% berbagai mata uang negara anggota. Pinjaman diberikan kepada dalam mata uang negara lain yang harus di tukar dengan mata uang negara  peminjam.

4.              Sistem semenjak 1973
Semenjak  1973 sistem moneter internasional merupakan campuran antara kurs tetap dengan kurs berubah-ubah. Mata uang Yen, dolar Kanada, franc Perancis, dan Swiss berfluktuas tergantung dari permintaan dan pernawaran. Sering juga penguasa moneter negara-negara tersebut melakukan campur tangan di pasar valuta asing untuk mengurangi fluktuasi kurs yang berlebihan. Caranya apabila negara mengalami defisit dalam neraca pembayaran, kurs valuta asing cenderung naik. Untuk mencegah hal ini bank Central menjual valuta asing. Demikian juga apabila surplus di dalam neraca pembayaran, bank sentral membeli valuta asing di pasar untuk mengurangi penurunan kurs. Sisitem kurs demikian di sebut “managed atau dirty” float, sebagai lawan dari “clean” floatt di  mana bank Sentral sama sekali tidak campur tangan di dalam pasar valuta asing.
Lima negara Eropa (Jerman Barat, Belgia, Luxembrug, Swedia, Netherlan dan Norwegia) mengadakan pengaturan secara tersendiri. Krus tetap berlaku di antara mereka, tetapi berubah-ubah secara bersama-sama terhadap mata uang negara lain. Sisten krus semacam ini (mengambang bersama-sama) menghasilakan fluktuasi yang menyerupai ular, yang kemudian disebut “Snake like”.
Negara-negara Eropa dan Jepang telah melepaskan ikatan mata uangnya dengan  dolar Amerika Serikat. Dengan demikian, telah merupakan mata uang yang mengambang. Namun demikian Dolar masih memegang peranan penting dalam lalu lintas pembayaran internasiolal. Pembayaran luar negeri, kebijakan campur tangan dalam valuta asing oleh Bank Sentral, serta catatan-catatan statistik Dana Moneter Internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa masih menggunakan dasar mata uang Dolar.

Empat macam bentuk standar emas yang pernah digunakan:
1. Gold Coin Standard Nilai satu-satuan uang dikaitkan dg seberat tertentu emas, contoh USA $1 =23,22 gram emas murni.
2. Gold Bullion Standard Memiliki Persamaan dengan The Gold coin Standard.
3. The Managed Sold Bullion Standar Yakni adanya sejumlah emas yang tetap pada setiap satu satuan uang tetapi tidak dapat dipakai dalam peredaran umum (satuan uang yang di back-up dengan emas).
4. The Gold Exchange Standard Yakni dimana satu satuan uangnya dinyatakan sama dengan seberat emas yg tetap.

Keuntungan sistem standar emas:
1.              Stabilnya kurs valas “dimana kurs yg tingkat ketinggianya tidak berubah dan jika ada pergerakan akan selalu diikuti oleh ekspor / impor emas.
2.              Defisit atau surplus neraca pembayaran berkecendrungan tidak berlangsung “sebab dalam kondisi surplus maupun difisit akan cenderung menimbulkan kekuatan-kekuatan dalam perekonomian yg secara otomatis mengakibatkan surplus maupun devisit neraca pembayaran yang terjadi yg pada akhirnya akan kembali seimbang“.

Kelemahan sistem standar emas:
a. Stabilits dalam kurs biasanya diikuti oleh ketidakstabilan dalam tingkat harga. Dengan stabilnya kurs valas, disekuilibrium neraca pembayaran mengakibatkan aliran emas masuk/keluar berimbas pada naik turunnya uang beredar yang akan langsung menimbulkan gejolak tingkat harga, kesimpulannya jika ada emas masuk, harga kegiatan ekonomi ikut naik atau sebaliknya.
b. Mekanisme penyeimbang kembali neraca pembayaran dalam hal praktik sering tidak selancar seperti yg diungkapkan dalam teori karna pemerintah yang bersangkutan tidak mematuhi aturan sistem standar emas, justru cenderung menghalangi dan terkesan melawan aturan, seperti menghalangi turunnya jumlah uang beredar dengan berbagai kebijakan moneter, seperti mempermudah/meringankan syarat perkreditan rasio cadangan wajib dibank.


E.            PENCIPTAAN UANG

Uang diciptakan di dalam sistem moneter oleh bank-bank pencipta uang giral (BPUG) yaitu bank yang diperbolehkan mengeluarkan cek dan melakukan transaksi kliring (BPR tidak diizinkan mengeluarkan uang giral). Proses penciptaan uang (giral) tersebut bermula ketika deposan menyetorkan dananya di bank. Melalui transaksi ini, bank yang menerima simpanan nasabah dapat menyalurkan simpanan tersebut dalam bentuk kredit kepada debitur.

Pemberian pinjaman inilah yang mempengaruhi jumlah uang yang beredar sehingga jumlah uang beredar akan semakin bertambah dibandingkan dengan tambahan deposito itu sendiri. Ilustrasi :
1.              Seorang nasabah A menyetorkan dananya ke bank A sebesar Rp. 100 milyar
2.              Bank setelah memperhitungkan dana cadangan (diasumsikan 10% dari dana nasabah) kemudian menyalurkan dana tersebut dalam bentuk kredit ke nasabah B sebesar Rp. 90 milyar.
3.              Nasabah B kemudian (diasumsikan) menyimpan dananya di Bank B sebesar Rp. 90 milyar.
4.              Bank B setelah memperhitungkan dana cadangan (10%) kemudian menyalurkan lagi dana tersebut dalam bentuk kredit ke nasabah C sebesar Rp. 81 milyar. Dst.....

Besarnya simpanan dana nasabah yang dapat disalurkan dalam bentuk kredit sangat dipengaruhi oleh besarnya Giro Wajib Minimum / GWM (dikenal juga dengan Reserve Rquirement Ratio / RRR) yang harus disetorkan oleh bank ke Bank Sentral yang dihitung  berdasarkan prosentase tertentu dari simpanan nasabah yang mengendap di bank.

Dalam sistem moneter yang jumlah banknya tak terhingga, proses ini akan berlanjut tanpa henti dan menimbulkan multiplier effect. Efek dari akselerasi ini dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Bank                                      Penambahan Deposito
Bank I                                    Rp. 100 milyar
Bank II                                  Rp. 90 milyar      = Rp. 100 m (1-GWM)1
Bank III                                 Rp. 81 milyar      = Rp. 100 m (1-GWM)2
Bank IV                                 Rp. 73 milyar      = Rp. 100 m (1-GWM)3
Bank V                                  Rp. 66 milyar      = Rp. 100 m (1-GWM)4
Bank VI                                 Rp. 59 milyar      = Rp. 100 m (1-GWM)5
Dst. ....                                  -                                 
Total Akumulasi               Rp.1.000 milyar

Berdasarkan rumus sederhan penjumlahan deret ukur sampai suku ke n yang tak terhingga banyaknya : Sn = A/R, dimana :

A             = setoran awal
Sn           = jumlah akumulasi tambahan deposito,
r              = RRR atau GWM

Dengan demikian, perubahan RRR dam perubahan jumlah uang beredar dapat dikatakan diuraikan sebagai berikut :

RRR                        Penambahan Jumlah Uang Beredar
5%                          20 kali lipat
10%                        10 kali lipat
20%                        5 kali lipat
25%                        4 kali lipat
50%                        2 kali lipat

Dalam kenyataan, proses penciptaaan uang tersebut hanya akan terjadi jika asumsi-asumsi yang dikemukakan berlaku. Dalam kenyataannya, proses penciptaan uang tidak akan seluas yang digambarkan di atas, karena adanya faktor-faktor yang membatasi, yaitu :
1.              Kebocoran uang tunai, yaitu sebagian dari uang yang seharusnya disimpan ke bank umum yang berikut tetap dipegang oleh pemiliknya. Hal ini merupakan kelaziman dalam masyarakat.
2.              Bank ingin mempunyai cadangan yan glebih banyak. Keinginan bank untuk membuat cadangan di atas nilai yang ditetapkan oleh otoritas akan mempengaruhi proses penciptaaan uang giral sebagaimana disebutkan di atas.
3.              Kekurangan Peminjam. Apabila karena sesuatu hal penyaluran kredit perbankan tidak bisa diserap al. Karena alasan suku bunga tinggi, prospek ekonomi yang kurang mendukung maka hal tersebut dapat mempengaruhi asumsi jumlah uang beredar.


F.             KEBIJAKAN MONETER PADA JUMLAH UANG YANG BEREDAR
Hal ini adalah salah satu cara untuk mengatasi inflasi, tentu digunakan kebijakan moneter yang bersifat mengurangi jumlah uang yang beredar yang meliputi :
1.              Kebijakan Pasar Terbuka
Kebijakan Bank Sentral untuk mengurangi jumlah uang beredar dengan cara menjual SBI (Surat Bank Indonesia ).Dengan menjual SBI, Bank Sentral akan menerima uang dari masyarakat dengan artinyan jumlah uang yang beredar dapat dikurangi.
2.              Kebijakan Diskonto
Kebijakan Bank Sentral untuk mengurangi jumlah ng yang beredar dengan cara menaikan suku bunganya. Dengan menaikkan suku bunga, diharapkan masyarakat akan menabung dibank lebih banyak. Dengan demikian, jumlah uang yang beredar dapat dikurangi.
3.              Kebijakan Cadangan Kas
Kebijakan Bank Sentral untuk mengurangi jumlah uang beredar dengan cara menaikkan cadangan kas minimum. Sehingga bank umum harus menahan uang lebih banyka dibak sebagai cadangan, dengan demikian jumlah uang yang beredar dapat dikurangi.
4.              Kebijakan Kredit Selektif
Kebijakan Bank Sentral untuk mengurangi jumlah uang beredar dengan cara memperketat syarat-syarat pemberian kredit. Syarat pemberian yang ketat akan mengurangi jumlah pengusaha yang bisa memperoleh kredit, dengan demikian jumlah uang yang beredar dapat dikurangi.
5.              Sanering
Kebijakan Bank Sentral memotong nilai mata uang dalam negeri jika negara sudah mengalami hiperinflasi ( inflasi diatas 100% ), dengan memotong nilai mata uang maka nilai uang yang beredar dapat dikurangi.
6.              Menarik Atau Memusnahkan Uang Lama
Kebijakan Bank Sentral mengurangi jumlah uang yang beredar dengan cara menarik atau memusnahkan uang yang lama seperti uang logam pecahan Rp 5,00 Rp 10,00 dan Rp 25,00 serta uang kertas Rp 100,00.
7.              Membatasi Pencetakan Uang Baru
Untuk mengatasi inflasi, pemerintah harus membatasi pencetakan uang baru agar jumlah uang yang beredar tidak semakin bertambah.

G.           PROSES PENCIPTAAN UANG OLEH BANK UMUM
Salah satu fungsi sistem keuangan adalah penciptaan uang. Penciptaan uang antara lain dapat dilakukan melalui bank umum yaitu dengan melalui penciptaan uang giral. Oleh karena itu, bank umum dapat mempengaruhi jumlah uang beredar. Untuk menggambarkan proses penciptaan uang oleh bank-bank umum dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa asumsi sebagai berikut:
1.              Ketentuan reserve requirement (RR) 5 %.
2.              Semua loanable funds yaitu dana setelah dikurangi RR, disalurkan dalam bentuk kredit.
3.              Setiap transaksi menggunakan cek.
4.              Semua transaksi dalam bentuk giro.
5.              Simpanan giro pertama sebesar Rp. 1 juta dan disimpan pada Bank Umum A.
Proses transaksi untuk penciptaan uang oleh bank umum perekonomian dengan menggunakan asumsi di atas dimulai dengan simpanan nasabah dalam bentuk Giro pada Bank A sebesar Rp. 1 juta. Untuk memenuhi ketentuan Bank Umum A menahan sebesar Rp. 50 ribu (5 % x Rp. 1 juta) sebagai cadangan. Sisanya sebesar Rp. 950 ribu yang dalam hal ini adalah loanable funds dipinjamkan kepada nasabahnya.
Selanjutnya, nasabah yang mendapatkan kredit tersebut digunakan untuk membeli kebutuhan-kebutuhanya. Pihak penjual dengan adanya transaksi tersebut memperoleh uang yang kemudian menyetorkannya pada rekening gironya di Bank Umum B sebesar Rp. 950 ribu. Oleh Bank Umum B setelah menahan cadangan sebesar 5 % x Rp. 950 ribu = Rp. 47.500, sisa dananya sebesar Rp. 902.500 kemudian dipinjamkan kepada nasabahnya.
Nasabah yang memperoleh pinjaman dari Bank Umum B membelanjakan uangnya tersebut sebagaimana dengan nasabah Bank Umum A sebelumnya. Oleh pihak penjual yang melakukan transaksi tersebut disetorkan ke rekeningnya di Bank Umum C sejumlah Rp. 902.500 yang kemudian menahan sebagian jumlah tersebut sebagai cadangan likuiditas dan selanjutnya menyalurkannya kembali kepada debitur. Proses transaksi seperti ini akan berulang secara terus menerus yang akan berakhir pada suatu tahap di mana tidak ada lagi sisa cadangan likuiditas sehingga loanable funds menjadi nihil dari jumlah simpanan giro awal.
Pada proses penciptaan uang giral oleh bank umum tersebut yang jumlah awalnya hanya sebesar Rp. 1 juta akan menjadi 20 juta setelah melalui proses penciptaan uang giral dengan mekanisme yang sama seperti dijelaskan di atas. Jumlah uang giral, cadangan likuiditas, dan kredit yang diberikan pada akhir proses penciptaan dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
D = S/r
Dimana:
D : Jumlah seluruh uang giral, cadangan dan kredit yang diberikan yang akan terwujud dalam proses penciptaan uang.
S : Jumlah uang giral, likuiditas dan kredit yang diberikan yang tercipta pada awal proses penciptaan uang
r : Ketentuan bagian uang giral (dalam persen) yang harus ditahan oleh bank sebagai cadangan likuiditas (reserve requirement).

a. Tabungan giral : D = S/r
= 1.000.000/5% = Rp. 20.000.000
b. Cadangan wajib : D = S/r
= 50.000/5% = Rp. 1.000.000
c. Kredit yang diberikan : D = S/r
= 950.000/5% = Rp. 19.000.000
H.            KETAHANAN KREDIT PERBANKAN SYARIAH ATAS KRISIS
Sektor perbankan memiliki peran yang strategis untuk penunjang kegiatan ekonomi suatu negara. fungsi bank sebagai lembaga intermediasi keuangan untuk menjadi perantara antara pihak yang kelebihan dana dan pihak yang membutuhkan dana,dan juga bank sebagai alur transmisi dari kebijakan sektor riil ke sektor moneter. Dengan analogi sederhana ini sistem perbankan akan sangat berpengaruh tehadap aktivitas perekonomian suatu negara. Bisa dibayangkan dampak yang terjadi disektor riil ketika perbankan mengalami permasalahan-permasalahan terkait keuangannya. Oleh karena itu,perlu adanya kebijakan dan pengawasan yang ketat dari bank central sebagai  lembaga yang berperan penuh dalam penanganan sistem moneter disuatu negara.

Era sebelum terjadinya krisis ditahun 1998, prestasi  ekonomi Indonesia menjadi sorotan banyak negara,  dikarenakan estimasi pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun berkisar antara 6%-8%.  Indonesia terlalu bangga atas prestasi yang telah dicapainya, perusahan didalam negeri  mencari sumber dana secara besar-besaran baik dana domestic maupun manca negara. Perbankan dalam negeri royal kredit, disisi lain perbankan luar negri sangat terbuka pada perusahaan indonesia yang hendak mencari sumber pendanaan.Disaat Korea Selatan dan  Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, Indonesia tampak bersikap tenang menghadapi hal itu kerana merasa memiliki fundamental ekonomi yang cukup kuat untuk menahan kejutan eksternal (external shock) yang diakibatkan kejatuhan ekonomi Korea Selatan dan Thailand.

Pada bulan Agustus 1997 pemerintah mengeluarkan kebijakan devisa mengambang ( free floating exchanging rate). sejak kebijakan moneter tersebut dilakukan, mulailah terjadi krisis perbankan di Indonesia  yang kemudian menjadi a full-blownbanking crisis yang berdampak berbagai sektor keuangan dan sektor rill. Dan krisis perbankan inilah yang membawa Indonesia kedalam krisis multidemensi dimana perekonomian Indonesia semakin terpuruk, menjadikan Indonesia negara yang paling terpuruk dibandingkan dengan krisis yang melanda negara-negara di Asia (I putu dan Soebowo, 2003).  

Penyebab terjadinya krisis 1998
Beberapa penyebab krisis ekonomi tahun 1998 diantaranya adalah
1.              Stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia.
2.              Sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
3.              Perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada gilirannya memperbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.

Penyebab krisis tahun 2008
·                 Pasar SUN mengalami tekanan hebat tercermin dari penurunan harga SUN atau kenaikan yield SUN secara tajam yakni dari rata-rata sekitar 10% sebelum krisis menjadi 17,1% pada tanggal 20 November 2008; (catatan: setiap 1% kenaikan yield SUN akan menambah beban biaya bunga SUN sebesar Rp 1,4 Triliun di APBN).
·                 Credit Default Swap (CDS) Indonesia mengalami peningkatan secara tajam yakni dari sekitar 250 bps awal tahun 2008 menjadi di atas 980 bps pada bulan November 2008. Hal ini menunjukkan bahwa pasar menilai country risk Indonesia yang tinggi pada saat itu.
·                 Terdapat gangguan likuiditas di pasar karena peningkatan liquidity premium akibat pelebaran bid-ask spread dalam perdagangan di pasar saham, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadi capital flight.
·                 Cadangan Devisa mengalami penurunan 13% dari US$ 59,45 miliar per Juni 2008 menjadi 51.64 miliar per Desember 2008 yang mengindikasikan terjadi capital flight.
·                 Rupiah terdepresiasi 30,9% dari Rp 9.840 per Januari 2008 menjadi Rp 12.100 per November 2008 dengan volatilitas yang tinggi.
·                 Terdapat potensi terjadi capital flight (arus dana keluar) yang lebih besar lagi dari para deposan bank karena tidak adanya sistem penjaminan penuh (full guarantee) di Indonesia seperti yang sudah diterapkan di Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan dan Korea.
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan krisis pada tahun 2008 yang juga terjadi saat ini, yaitu depresiasi nilai tukar rupiah akibat defisit yang terus menerus dalam neraca perdagangan, serta penarikan dana asing yang tidak bisa ditahan lagi.

Kenaikan BI rate
Kebijakan uang ketat ( Tight money policy) dibuat Bank Indonesia untuk mencegah inflasi, dengan menaikkan tingkat suku bunga dari yang asalnya 7,25% menjadi 7,5%.  Dikarenakan rupiah mengalami depresiasi yang berflutuatif setiap harinya yang masih berkisar antara 11,000 sampai 12,000 per US dolar, penaikkan tingkat suku bunga itu juga bertujuan untuk menarik kembali dana investor asing kedalam negeri. Namun, dewasa ini fakta telah berbicara kebijakan menaikkan tingkat suku bunga tidak  mencapai hasil yang sesuai dengan yang dinginkan. Bahkan kenaikan BI rate menyebabkan kegiatan perekonomian disektor rill melamban dan juga menurunkan minat investasi masyarakat bukan hanya disektor rill,investasi dipasar modal juga menurun seperti yang terjadi pada Index Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mengalami penurunan sebesar 1.8% ke angka  4.301,89 menjelang penutupan 13/11/2013 lalu.

Ketahanan sistem syariah
Bank Syariah pertama kali yang berdiri di Indonesia  (Bank Muamalat) dapat membuktikan ketahanannya pada masa krisis tahun 1997-1998, meski mengalami penurunan profit yang didapat. Bank Muamalat yang pada dasarnya menggunakan prinsip bagi hasil, selamat dari krisis akibat produk-produknya yang variatif, seperti contoh produk pembiayan Murabahah yang tidak terpengaruh oleh fluktuasi BI rate,  sehingga sektor rill yang menggunakan pembiayan ini juga selamat dari dampak buruk kenaikan BI rate. berbeda dengan apa yang dialami oleh perbankan konvensional, yang pada saat itu menyebabkan  16 bank ditutup (dilikuidasi), berikutnya 38 bank, Selanjutnya 55 buah bank masuk kategori BTO dalam pengawasan BPPN ( Agustianto, 2006).

Dari beberapa periode krisis ekonomi di Indonesia dapat dianalis secara sederhana bahwa dalang dari semua itu adalah terjadinya spekulatif pada sektor keuangan dan fluktuasi bunga yang tidak stabil..dalam islam uang hanyalah sebagai medium of exchange (alat tukar), bukan suatu komoditas yang bisa diperjualbelikan dan diperlukan untuk dikonsumsi, ia tidak diperlukan untuk dirinya sendiri, melainkan diperlukan untuk membeli barang lain sehingga kebutuhan manusia dapat terpenuhi,  islam sangat melarang adanya tindak spekulasi dalam keuangan dan juga dengan adanya bunga dalam sebuah transaksi perekonomian karena mengakibatkan ketimpangan antara sector riil dan moneter.

Dalam dunia usaha menurut islam untuk mendapat profit perlu adanya sebuah usaha yang dilakukan, hal ini sangat bertolak belakang dengan sistem bunga yang mana profit bisa didapat tanpa usaha dan resiko. Jika, Indonesia masih berkibalat  pada bunga dalam sistem kapitalis, maka akan merefleksikan kembali terhadap kelemahan-kelemahan yang ada.

Allah telah menegaskas larangan riba, dilemanya masyarakat Indonesia hari ini seperti orang gila yang kerasukan setan, mengikuti sistem-sistem kapitalis. Allah telah melarang sesuatu zdemi kebaikan hambanya. Inilah sekecil-kecilnya azab Allah propoganda dalam kegiatan ekonomi yang tidak jelas arah dan tujuannya. Cara yang terbaik menata kehidupan yang jauh dari masalah yang pelik dengan meninggalkan sisa riba dan kembali kejalan Allah. kebijakan yang telah ditetapkan dalam hukum-hukum islam sebagai panduan untuk menjalani kehidupan yang lebih sukses, tidak ada alasan mengkondisikan permasalahan-permasalahan yang ada. Suksesnya ekonomi bangsa Indonesia ada ditangan-tangan pemuda yang mengikuti ajaran syariat.

Proses mengubah suatu kebiasaan tidak mudah seperti membalik telapak tangan. Namun, ketika peringatan dan ancaman Allah disampaikan, tidak ada alasan untuk membangkang. Mengoptimalisasi akad pada produk perbankan syariah, dengan mensosialisasi akad-akad pada produk  yang sudah ada diperbankan syariah adalah salah satu bukti jihad dalam memperjuangkan ilmu ekonomi islam, dan menjauhkan kegiatan riba terhadap sesama. 
Kebijakan yang dapat diambil oleh perbankan syariah untuk meminimalisir dana, bekerjasama dengan institusi ekonomi syariah, jika ada mahasiswa  semester akhir yang sedang pratik lapangan, ini adalah awal dari tugas meraka untuk mengabdikan diri dengan masyarakat, yaitu dengan memberi penyuluhan tentang bekerjasama dengan lembaga keuangan syariah pada skim pembiayaan, dan tentang cara melakukan kegiatan usaha yang lebih profitable dengan prinsip bagi hasil. Dengan cara seperti ini dalam menghadapi kemajuan kegiatan ekonomi Indonesia pada tahun 2030 akan menjadi kenyataan. Indonesia akan lebih matang mempersiapkan diri dengan belajar dari pengalaman-pengalaman yang sudah ada. Melalui sosialisasi yang maksimal antara pihak perbankan syariah dan masyarakat ( sektor rill) akan menumbuhkan nilai-nilai kepercayaan , sehingga kedua sektor ini akan lebih berkembang.
Proses mengubah suatu kebiasaan tidak mudah seperti membalik telapak tangan. Namun, ketika peringatan dan ancaman Allah disampaikan, tidak ada alasan untuk membangkang. Mengoptimalisasi akad pada produk perbankan syariah, seperti murabahah ( jual-beli) yang  bebas unsur tadlis, mudhorabah ( bagi hasil) sebagai core product  yang membedakan antara Lembaga keuangan Syariah dan Konvensional, musyarakah ( kerja sama) bank  ikut berkontribusi sebagian modal yang diutuhkan oleh mudhorib sebagai bentuk team work yang mutualisasi. Usaha maksimal penyeluhan dan seminar series  terhadap pengenalan  akad-akad produk perbankan syariah, akan mampu bertahan dari krisis ekonomi Indonesia, dan mampu bersaing dalam pengembangan lembaga keuangan syariah pada tahun 2030.


Dalam dunia perbankan di Indonesia sendiri, krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998 membuktikan kekuatan imunitas lembaga perbankan syariah dibandingkan dengan Bank Konvensional yang pada saat itu rata-rata mengalami kebangkrutan. Sebanyak 650 Trilyun dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) sepenuhnya mengalir pada Bank Konvensional, bukan pada Bank Syariah yang pada saat itu adalah Bank Muamalat, Bank Syariah pertama dan satu-satunya di Indonesia pada masa itu. Imunitas Bank Muamalat pada saat itu membuat isu mengenai perbankan syariah melejit sebagai salah satu alternatif baru di dunia perbankan. Pengalaman pada masa krisis ekonomi 1997-1998 menciptakan banyak kajian mengenai alasan-alasan mengapa Bank Syariah lebih mampu bertahan dalam krisis ekonomi dibanding dengan Bank Konvensional seiring dengan tumbuhnya Bank-Bank Syariah baru di Indonesia.
Pertahanan sistem perbankan Indonesia kembali diuji ketika krisis ekonomi kembali terjadi pada pertengahan tahun 2008.  Diawali dengan kolapsnya lembaga-lembaga keuangan Amerika seperti beberapa bank-bank komersial, lembaga investasi dan lembaga keuangan non bank yang besar di negeri Adidaya ini. Dan tentunya krisis, mengimbas kepada lembaga-lembaga keuangan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Perekonomian maupun perbankan Indonesia menghadapi permasalahan krusial akibat dampak krisis ekonomi global, sejak September 2008 hingga 2010 meskipun tidak separah di tahun 1997. Salah satu elemen yang menjadi senjata yang ampuh untuk menghadapi krisis ekonomi global adalah dengan mulai tumbuhnya perbankan syariah di negeri kita. Selain BMI, bank-Bank Konvensional mulai menerapkan dual banking System, Seperti Bank Mandiri, mempunyai Bank Syariah Mandiri, begitu pula Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia, mempunyai divisi syariah ataupun Bank Syariah. Bank-bank swasta pun telah memperlakukan dual banking System,seperti Bank Niaga, Bank IFI, Bank Permata, BCA maupun bank-bank pemerintah, BUMN, maupun bank swasta lainnya. Bukti nyata eksistensi perbankan syariah di tengah krisis ekonomi global adalah pada periode tersebut Bank Muamalat justru berhasil membukukan laba lebih dari 300 Milyar.
Krisis moneter dan penurunan nilai tukar rupiah terjadi karena adanya krisis kualitas lembaga-lembaga keuangan yang berbasis pada penerapan suku bunga. Tingginya nilai suku bunga sebagai penyebab dari krisis moneter mengakibatkan ambruknya dunia perbankan konvensional dan sektor riil yang berpengaruh pada ketidakstabilan pertumbuhan ekonomi.
Ada beberapa hal yang terjadi pada Bank Konvensional dan perekonomian Indonesia ketika krisis moneter melanda: Pertama, Perbankan konvensional tidak memiliki ketersediaan dana liquid yang cukup untuk operasionalnya.  Nasabah peminjam mengalami ketidakmampuan untuk mengembalikan dana pinjaman karena tingginya nilai suku bunga. Kemacetan pengembalian dana pinjaman dari pihak nasabah ke perbankan berimplikasi pada ketidakmampuan pihak perbankan untuk mengembalikan dana pinjaman kepada Bank Indonesia.  Sehingga pada saat nilai suku bunga melonjak tinggi, kondisi ini mengakibatkan goncangan pada sistem manajemen moneter perbankan konvensional.  
Hal yang sama tak berlaku di Bank Syariah. Dana masyarakat yang disimpan di bank disalurkan kepada para peminjam untuk mendapatkan keuntungan Hasil keuntungan akan dibagi antara pihak penabung dan pihak bank sesuai perjanjian yang disepakati. Namun bagi hasil yang dimaksud adalah bukan membagi keuntungan atau kerugian atas pemanfaatan dana tersebut. Keuntungan dan kerugian dana nasabah yang dioperasikan sepenuhnya menjadi hak dan tanggung jawab dari bank. Penabung tak memperoleh imbalan dan tak bertanggung jawab jika terjadi kerugian. Bukan berarti penabung gigit jari tapi mereka mendapat bonus sesuai kesepakatan.
Dari perbandingan itu terlihat bahwa dengan sistem riba pada Bank Konvensional penabung akan menerima bunga sebesar ketentuan bank. Namun pembagian bunga tak terkait dengan pendapatan bank itu sendiri. Sehingga berapapun pendapatan bank, nasabah hanya mendapatkan keuntungan sebesar bunga yang dijanjikan saja. Sekilas perbedaan itu memperlihatkan di Bank Syariah nasabah mendapatkan keuntungan bagi hasil yang jumlahnya tergantung pendapatan bank. Jika pendapatan Bank Syariah naik maka makin besar pula jumlah bagi hasil yang didapat nasabah. Ketentuan ini juga berlaku jika bank mendapatkan keuntungan sedikit.
Namun bukan berarti dengan tidak digunakannya sistem bunga di Bank Syariah maka perbankan syariah tidak akan terpengaruh sama sekali dengan krisis ekonomi. Pengaruh ini sedikit banyak akan tetap dirasakan oleh Bank Syariah Ketika suku bunga Bank naik, maka kredit menjadi ‘mahal’ dan kegiatan investasi menjadi surut. Hal ini mengakibatkan kegiatan perekonomian di masyarakat menurun. Penurunan aktivitas ekonomi ini berakibat pada penurunan profit usaha yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan bagi hasil yang bisa diberikan oleh Bank Syariah. Jika aktivitas ekonomi menurun tajam, maka nilai bagi hasil bisa menjadi sangat kecil. Kecilnya nilai bagi hasil ini bisa mempengaruhi jumlah nasabah yang menggunakan jasa Bank Syariah, sehingga Bank Syariah harus benar-benar mempertimbangkan langkah untuk menjaga nilai bagi hasil ini untuk mempertahankan nasabahnya, termasuk, salah satu jalannya, dengan memangkas margin keuntungannya.
Kesimpulan: Banyaknya wacana yang menyebutkan bahwa perbankan syariah merupakan jalan keluar dari segala jenis krisis ekonomi global yang mampu menyerang perekonomian dunia karena dinilai kebal terhadap krisis memang tidak sepenuhnya benar. Krisis ekonomi global mengguncang semua aspek perekonomian, termasuk akan berdampak pula pada perolehan profit perusahaan yang kemudian berdampak pada menurunnya jumlah bagi hasil antara Bank Syariah dan Perusahaan atau bahkan akan terjadi pembagian tanggungan kerugian.
Terlepas dari resiko kerugian yang kemungkinan terjadi, sesungguhnya perbankan syariah dengan skema musyarakah/mudharabah akan memberikan manfaat positif bagi perekonomian Indonesia (Beik, 2006) : Pertama, akan menggairahkan sektor riil. Investasi akan meningkat yang disertai dengan pembukaan lapangan kerja baru. Dampaknya, tingkat pengangguran akan dapat dikurangi dan pendapatan masyarakat akan bertambah. Yang kedua, ditinjau dari sisi nasabah. Nasabah akan memiliki 2 pilihan, apakah akan mendepositokan dananya pada Bank Syariah atau Bank Konvensional. Nasabah akan membandingkan secara cermat antara expected rate of return yang ditawarkan Bank Syariah dengan tingkat suku bunga yang ditawarkan oleh Bank Konvensional, dimana selama ini fakta telah membuktikan, ternyata rate of return Bank Syariah lebih tinggi bila dibandingkan dengan interest rate yang berlaku pada Bank Konvensional. Sehingga ini akan menjadi faktor pendorong meningkatnya jumlah nasabah. Dampak yang ketiga adalah akan mendorong tumbuhnya pengusaha / investor yang berani mengambil keputusan bisnis yang beresiko. Hal ini akan menyebabkan berkembangnya berbagai inovasi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing bangsa ini. Inovasi adalah kata kunci di dalam memenangkan persaingan global.
Dampak selanjutnya adalah dapat mengurangi peluang terjadinya resesi ekonomi dan krisis keuangan. Hal ini dikarenakan Bank Syariah adalah institusi keuangan yang berbasis aset (asset-based). Artinya, Bank Syariah adalah institusi yang berbasis produksi (production-based). Bank Syariah bertransaksi berdasarkan aset riil dan bukan mengandalkan pada kertas kerja semata.
Sementara di sisi lain, Bank Konvensional hanya bertransaksi berdasarkan paper work dan dokumen semata, kemudian membebankan bunga dengan prosentase tertentu kepada calon investor. Pola pembiayaan musyarakah/mudarabah adalah pola pembiayaan yang berbasis pada produksi. Krisis keuangan dapat diminamilisir karena balance sheet perusahaan relatif stabil. Hal ini dikarenakan posisinya sebagai mudharib, dimana perusahaan tidak menanggung kerugian yang ada, apabila kerugian tersebut disebabkan oleh kondisi luar biasa yang tidak diprediksikan sebelumnya, misalnya diakibatkan oleh bencana alam. Maksudnya, keadaan tersebut terjadi secara tidak disengaja dan diluar batas kemampuan. Dengan demikian, semua beban kerugian akan ditanggung oleh Bank Syariah sebagai rabbul-mal. Selanjutnya, pola musyarakah/mudarabah dapat menjadi solusi alternatif atas masalah over likuiditas yang saat ini terjadi. Kondisi over likuiditas ini dapat disiasati dengan menyalurkannya pada sektor riil.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Bank Syariah perlu menggarap sektor riil secara lebih optimal dan matang melalui pembiayaan berdasarkan skema musyarakah/mudharabah. Dengan demikian, Bank Syariah dapat berperan lebih signifikan di dalam upaya mengatasi permasalahan ekonomi Indonesia, termasuk membangun imunitas terhadap krisis ekonomi global.